Sumber foto: iStock

Viral! Pasangan Remaja Menikah di Lombok: Apa Kata Hukum, Data UNICEF, dan Dampaknya Bagi Masa Depan Anak?

Tanggal: 8 Jun 2025 15:00 wib.
Kasus pernikahan dini kembali menjadi sorotan publik setelah video prosesi adat pernikahan pasangan remaja di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), menyebar luas di media sosial. Dua remaja, SMY (14 tahun) dan SR (17 tahun), menjadi perhatian setelah resmi menikah di usia yang belum sesuai ketentuan undang-undang. Peristiwa ini mencuat setelah Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polres Lombok Tengah memanggil pasangan tersebut untuk dimintai keterangan pada Selasa, 27 Mei 2025.

Yang lebih memprihatinkan, pengantin perempuan ternyata masih duduk di bangku SMP dan baru berusia 15 tahun. Ini menambah daftar panjang kasus pernikahan anak di Indonesia yang tak kunjung mereda meskipun telah ada regulasi yang jelas mengatur batas usia minimal pernikahan.

Fakta Mengerikan: Indonesia Termasuk Negara dengan Angka Pernikahan Anak Tertinggi

Menurut data dari UNICEF, ada sekitar 650 juta anak di seluruh dunia yang menjadi korban pernikahan di bawah umur (sebelum usia 18 tahun). Dari jumlah tersebut, sekitar 25,5 juta kasus berasal dari Indonesia. Fakta ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan angka pernikahan anak tertinggi di dunia.

Laporan UNICEF juga menunjukkan bahwa 1 dari 6 anak perempuan di Indonesia telah menikah sebelum usia 18 tahun. Yang lebih mengkhawatirkan, sebagian besar dari mereka adalah lulusan Sekolah Dasar (SD). Ini mencerminkan bahwa rendahnya pendidikan sangat erat kaitannya dengan tingginya risiko pernikahan anak.

Batas Usia Perkawinan: Aturan yang Kerap Dilanggar

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, usia minimum untuk menikah di Indonesia adalah 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan. Namun, masih banyak daerah yang tidak sepenuhnya mematuhi aturan ini, baik karena faktor budaya, sosial, maupun ekonomi.

Contohnya, Sulawesi Barat tercatat memiliki prevalensi pernikahan anak tertinggi di Indonesia, yakni mencapai 19,43%. Sementara itu, Jawa Barat mencatat angka absolut tertinggi, dengan estimasi sekitar 273.300 kasus pernikahan anak. Angka-angka ini membuktikan bahwa pernikahan anak bukan hanya masalah perorangan, melainkan sudah menjadi persoalan sistemik nasional.

Apa Penyebab Pernikahan Anak Masih Marak Terjadi?

Pernikahan sebelum usia 18 tahun merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi anak, yang seharusnya mendapatkan kesempatan berkembang secara maksimal, baik dari sisi pendidikan, kesehatan, maupun emosional. Ada beberapa faktor utama yang menjadi pemicu masih tingginya angka pernikahan anak di Indonesia:



Kemiskinan: Banyak keluarga yang menganggap menikahkan anak adalah jalan pintas untuk mengurangi beban ekonomi.


Persepsi keliru soal perlindungan: Orang tua percaya bahwa menikah bisa melindungi anak dari pergaulan bebas atau aib sosial.


Norma sosial dan budaya: Di beberapa daerah, menikah muda dianggap hal biasa atau bahkan membanggakan.


Hukum adat atau agama: Meski secara nasional ada batas usia pernikahan, beberapa aturan adat atau interpretasi agama bisa membenarkan pernikahan dini.


Kerangka hukum dan pencatatan sipil yang belum optimal: Kurangnya pengawasan terhadap usia pernikahan serta celah dalam pencatatan nikah memungkinkan praktik pernikahan anak terus berlangsung.



Dampak Fatal dari Pernikahan Anak

Pernikahan anak tidak hanya berdampak pada kehidupan sosial dan psikologis korban, tetapi juga membawa konsekuensi serius terhadap kesehatan fisik dan mental anak perempuan. Berikut beberapa dampak yang sangat mengkhawatirkan:



Risiko kematian saat kehamilan dan persalinan
Perempuan berusia 15 hingga 19 tahun memiliki risiko komplikasi kehamilan yang jauh lebih tinggi. Bahkan, komplikasi saat hamil dan melahirkan menjadi penyebab utama kematian perempuan di rentang usia tersebut.


Tingginya angka kematian bayi baru lahir
Bayi yang lahir dari ibu berusia di bawah 20 tahun memiliki kemungkinan dua kali lebih besar untuk meninggal dunia dalam 28 hari pertama dibandingkan bayi dari ibu berusia 20-29 tahun.


Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
Anak perempuan yang menikah muda lebih rentan menjadi korban kekerasan fisik, emosional, maupun seksual dalam rumah tangga. Hal ini karena mereka belum cukup matang secara psikologis untuk menghadapi kompleksitas relasi pernikahan.



Solusi dan Langkah Preventif

Menghapus praktik pernikahan anak tidak bisa hanya mengandalkan satu pihak saja. Perlu kerja sama dari berbagai lini: pemerintah, lembaga pendidikan, tokoh agama dan adat, media, serta masyarakat luas. Beberapa langkah konkret yang bisa dilakukan antara lain:



Peningkatan literasi hukum dan kesehatan reproduksi bagi remaja di sekolah.


Program pelatihan ekonomi bagi keluarga miskin agar tidak menjadikan anak sebagai 'alat tukar' ekonomi.


Penguatan pencatatan pernikahan agar tidak terjadi penyimpangan data usia calon mempelai.


Sosialisasi kepada tokoh masyarakat dan agama untuk menekankan pentingnya menunda pernikahan hingga usia yang matang.

Copyright © Tampang.com
All rights reserved