Urgensi Penegasan Bentuk Kelembagaan LMKN dalam Revisi UU Hak Cipta
Tanggal: 1 Sep 2025 14:27 wib.
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Danang Girindrawardana, menilai bahwa revisi Undang-Undang Hak Cipta harus memberikan penjelasan yang lebih tegas mengenai bentuk kelembagaan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Menurutnya, selama ini pengaturan tentang LMKN baru sebatas peran dan fungsi, tetapi belum mengatur secara jelas mengenai status kelembagaan yang sah secara hukum. Padahal, hal tersebut sangat krusial mengingat LMKN memiliki kewenangan memungut dana dari masyarakat dalam bentuk royalti. Tanpa dasar kelembagaan yang kuat di dalam undang-undang, potensi persoalan legalitas dalam penarikan dana akan terus muncul.
Lebih lanjut, Danang menegaskan bahwa negara memiliki kewajiban menghadirkan keadilan, tidak hanya bagi para pencipta dan pembawa lagu, tetapi juga bagi penikmat musik. Dalam hal ini, kelompok penikmat musik tidak hanya masyarakat umum, tetapi juga sektor horeka (hotel, restoran, kafe) yang selama ini menjadi bagian dari ekosistem musik di Indonesia. Menurutnya, kontribusi sektor horeka terhadap pertumbuhan ekonomi nasional sangat besar karena menyerap tenaga kerja dalam jumlah signifikan. Oleh sebab itu, mereka perlu diperhatikan dan tidak boleh dibebani dengan pungutan yang memberatkan, apalagi diikuti ancaman pidana.
Danang juga menekankan pentingnya melihat relasi antara produsen musik dan penikmat musik sebagai bentuk simbiosis mutualisme. Sektor horeka, misalnya, selain dianggap sebagai penikmat musik, juga berperan sebagai kanal promosi yang membantu memperluas jangkauan karya musik ke publik. Oleh karena itu, regulasi seharusnya tidak hanya berbicara tentang pungutan, melainkan juga mengakomodasi aspek promosi yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Ia menyoroti persoalan yang selama ini menimbulkan kebingungan, yakni mengenai batasan pemungutan royalti. Banyak pelaku usaha belum memahami secara pasti apakah pemutaran musik di area komersial dalam bentuk dekorasi atau ambience harus dikenakan royalti, atau hanya berlaku pada penampilan musik secara langsung oleh musisi. Situasi ini diperumit lagi oleh perbedaan konteks penampilan musisi, apakah mereka musisi rumahan, pengisi acara kafe, atau musisi profesional yang sudah memiliki album dan karya yang dirilis ke pasaran. Menurut Danang, penarikan dana harus jelas dan proporsional agar tidak menimbulkan rasa ketidakadilan.
Selain itu, isu besar lainnya adalah mekanisme pembagian royalti kepada para produsen musik, pencipta, maupun penyanyi. Menurutnya, distribusi royalti yang adil merupakan kunci untuk memastikan sistem yang berjalan tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga sah secara moral. Tanpa kejelasan distribusi, potensi konflik dan ketidakpercayaan akan semakin besar.
Dalam konteks revisi Undang-Undang Hak Cipta, Danang mendorong agar pemerintah juga meninjau ulang bentuk kelembagaan LMKN. Ia menyarankan agar LMKN dilebur menjadi satu cabang kewenangan pemerintah, bukan sekadar wadah yang dikelola oleh aktivis swasta. Dengan demikian, mekanisme pemungutan royalti bisa lebih terpusat, transparan, serta mengurangi risiko munculnya pungutan ilegal yang selama ini meresahkan.
Sebagai Dewan Pakar Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Danang juga menegaskan pentingnya pengaturan yang lebih sederhana dan terpusat. Ia menilai bahwa apabila pemungutan dana dilakukan oleh banyak pihak dengan status kelembagaan yang kabur, maka peluang terjadinya pungutan liar akan semakin besar. Karena itu, kejelasan bentuk kelembagaan LMKN di dalam undang-undang menjadi syarat mutlak untuk menghadirkan sistem royalti yang adil, transparan, dan tidak memberatkan ekosistem musik maupun sektor usaha yang menjadi bagian dari rantai nilai tersebut.