Transisi Energi Digaungkan, Tapi PLTU Masih Jadi Andalan Indonesia!
Tanggal: 11 Mei 2025 07:56 wib.
Tampang.com | Pemerintah Indonesia belakangan aktif menyuarakan transisi menuju energi bersih. Namun, di sisi lain, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara masih jadi tulang punggung penyediaan energi nasional. Kontradiksi ini membuat publik bertanya: seberapa serius kita ingin keluar dari ketergantungan pada energi fosil?
PLTU Masih Dominan, Komitmen Iklim Dipertanyakan
Data Kementerian ESDM mencatat lebih dari 60% listrik Indonesia masih bersumber dari PLTU batu bara. Padahal Indonesia telah menandatangani berbagai komitmen global untuk mengurangi emisi karbon dan beralih ke energi bersih.
“Pemerintah bicara soal transisi, tapi kenyataannya pembangunan PLTU baru masih berjalan. Ini kontradiktif dengan janji iklim,” ujar Dewi Lestari, analis kebijakan energi dari Trend Asia.
Proyek-proyek PLTU yang dibangun dengan skema jangka panjang membuat Indonesia terikat kontrak hingga puluhan tahun ke depan, memperlambat proses peralihan ke energi terbarukan.
Investasi Energi Terbarukan Masih Minim
Meski anggaran negara terus diklaim mendukung energi hijau, realisasi investasi di sektor ini masih jauh dari target. Hambatan regulasi, rendahnya insentif, serta ketidakpastian pasar menjadi tantangan utama bagi pengembangan energi surya, angin, dan biomassa.
“Energi terbarukan seperti hanya pelengkap portofolio. Tidak ada keberpihakan nyata dari kebijakan fiskal maupun insentif investasi,” jelas Dewi.
Di saat banyak negara mulai meninggalkan batu bara, Indonesia justru masih tergantung dan belum punya peta jalan transisi yang konkret dan terukur.
Masyarakat Jadi Korban Polusi dan Krisis Iklim
Keberadaan PLTU tak hanya memperbesar emisi karbon, tapi juga berdampak langsung terhadap kesehatan masyarakat sekitar. Polusi udara, pencemaran air, dan gangguan lingkungan terus dirasakan oleh warga di sekitar area pembangkit.
“Kami sering sesak napas, batuk-batuk, dan tanaman tidak tumbuh normal. Tapi sulit sekali menggugat karena PLTU dilindungi kontrak pemerintah,” ungkap Ratna, warga di sekitar PLTU Indramayu.
Kondisi ini menunjukkan bahwa kebijakan energi masih berpihak pada industri, bukan rakyat atau lingkungan.
Solusi: Moratorium PLTU dan Percepatan Energi Bersih
Aktivis lingkungan menuntut pemerintah menetapkan moratorium pembangunan PLTU baru dan mempercepat penutupan PLTU eksisting. Selain itu, kebijakan afirmatif diperlukan untuk mendorong percepatan investasi di sektor energi terbarukan.
“Tanpa keberanian politik, transisi hanya jadi jargon internasional yang tak berdampak bagi rakyat,” tegas Dewi.
Perlu juga transparansi dalam peta jalan transisi energi nasional, serta pengawasan independen untuk memastikan setiap komitmen iklim benar-benar dijalankan.
Transisi Energi Harus Nyata, Bukan Sekadar Narasi
Jika Indonesia ingin mencapai target nol emisi dan menyelamatkan generasi masa depan, maka ketergantungan pada PLTU harus dihentikan secara bertahap dan sistematis. Transisi energi tak boleh hanya jadi narasi politis, melainkan harus dibuktikan lewat aksi nyata.
“Energi masa depan bukan soal pilihan, tapi soal keberlangsungan hidup,” tutup Dewi.