THR untuk Pengemudi Online: Hak atau Sekadar Imbauan?
Tanggal: 1 Mar 2025 18:03 wib.
Bulan suci Ramadan telah tiba di Indonesia, membawa harapan dan semangat baru bagi umat Muslim di seluruh tanah air. Di tengah momen ini, tunjangan hari raya (THR) menjadi isu penting yang dibicarakan, khususnya di kalangan pekerja. Tak hanya karyawan di perusahaan formal yang berhak menerima THR, tetapi juga pengemudi online atau ojol. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) memberikan angin segar mengenai hal ini, menggarisbawahi komitmen pemerintah untuk memperhatikan kesejahteraan para pengemudi.
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI dan Jamsos) Kemnaker, Indah Anggoro Putri, mengungkapkan bahwa pemerintah berencana untuk memberikan imbauan kepada perusahaan aplikasi digital agar memberikan bantuan hari raya bagi mitra pengemudi mereka. "Kami menyambut Hari Raya Keagamaan ini dengan komitmen untuk memberikan sesuatu bagi para pekerja di platform digital sebagai bagian dari upaya mewujudkan kebijakan perlindungan untuk mereka," ungkapnya saat memberikan keterangan pada media.
Namun, Indah juga menekankan bahwa saat ini pihaknya masih dalam tahap mengkaji formula yang tepat untuk menentukan besaran dan mekanisme pemberian bantuan tersebut. Salah satu tantangan utama yang dihadapi adalah kurangnya data akurat mengenai mitra pengemudi yang aktif dibandingkan yang tidak. "Ini yang jadi tantangan, kita belum memiliki data yang jelas untuk mengklasifikasi mitra yang aktif dan tidak dalam menjalankan tugas," lanjutnya.
Sementara itu, dukungan pemerintah dalam bentuk Surat Edaran (SE) yang bersifat imbauan kepada perusahaan aplikator digital akan segera dikeluarkan, diperkirakan pada pekan depan. "Nama yang tepat untuk tunjangan ini masih kami pikirkan. Ini sangat penting karena arti dari nama itu sendiri dapat memberikan dampak," tambah Indah.
Dalam konteks ini, Ia menegaskan bahwa pemerintah sangat serius dalam mendukung pemberian bantuan hari raya untuk para pengemudi. Dia juga mengajak semua mitra, stakeholder, dan kementerian lain yang memiliki akses data untuk bersama-sama memperkuat sistem data terkait. "Data yang akurat menjadi kunci, karena besaran bantuan untuk pengemudi aktif pastinya akan berbeda dengan mereka yang hanya bekerja sebagai sampingan," ujarnya.
Sampai saat ini, Kemnaker dan perusahaan aplikasi digital terus menjalin komunikasi untuk merumuskan formula besaran bantuan THR tersebut. "Proses mencari formula yang tepat ini tidak mudah, terutama karena data yang belum pasti dan adanya perbedaan aktivasi di antara pengemudi. Ini semua masih dalam pembahasan dan kami akan berdiskusi lebih lanjut minggu depan," jelasnya.
Di tengah perkembangan ini, Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) tidak tinggal diam. Dalam pertemuan dengan pihak Kemnaker, SPAI menyatakan komitmennya untuk mengawal kebijakan terkait THR bagi pengemudi ojol, taksol, dan kurir. Ketua SPAI, Lily Pujiati, menuntut agar perusahaan platform diwajibkan membayarkan THR dalam bentuk tunai. "Kami menolak jika THR hanya menjadi sekadar imbauan. Bentuk THR yang kami inginkan adalah dalam bentuk tunai, bukan barang atau bingkisan," tegasnya.
Lily juga menegaskan pentingnya perbedaan antara THR yang bersifat wajib dibayarkan dan yang bersifat imbauan. THR harus diakui sebagai hak semua pekerja, termasuk pengemudi yang aktif maupun tidak aktif. “Bahkan mereka yang sudah mengalami pemutusan hubungan kerja atau yang disebut Putus Mitra (PM) juga berhak mendapatkan THR,” jelasnya.
Dia menambahkan, situasi saat ini di mana harga kebutuhan pokok terus merangkak naik semakin memperkuat urgensi THR bagi pengemudi. "Momen Ramadan adalah saat di mana pengemudi memerlukan persiapan ekstra untuk memenuhi kebutuhan selama lebaran," imbuhnya.
Kenyataan pahit bagi pengemudi yang putus mitra adalah mereka tidak mendapatkan pesangon yang seharusnya berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Bahkan, dana yang masih tersimpan di saldo aplikasi mereka sering kali diambil oleh perusahaan dengan dalih denda. "Praktik ini jelas tidak adil dan sangat merugikan bagi para pengemudi," pernyataan Lily menjadi sorotan bagi banyak pihak.
Ia melanjutkan dengan menekankan bahwa pengemudi yang tidak aktif tetap berhak mendapat THR, karena mereka juga telah berinvestasi dalam pekerjaan ini, termasuk membeli atribut yang dijual oleh platform seperti helm, jaket, dan tas barang. Keberadaan pengemudi di platform-platform seperti Gojek, Grab, Maxim, dan lainnya menunjukkan bahwa mereka adalah bagian penting dari ekosistem transportasi di Indonesia.
Dengan begitu, Lily mengingatkan bahwa semua perusahaan platform tersebut diharapkan untuk mematuhi hukum ketenagakerjaan yang berlaku dan secara tegas wajib membayar THR kepada seluruh pengemudi mereka. Situasi ini jelas menjadi sorotan di kalangan masyarakat, terutama di saat penyerahan THR menjadi isu krusial di tengah kesibukan menyambut Hari Raya. Kejelasan dari pihak pemerintah dan aplikasi digital sangat diharapkan untuk memberikan kepastian kepada para pengemudi sebagai bagian dari upaya meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan bagi semua pekerja di Indonesia.