Ternyata 80% Pengguna BBM Pertalite Merupakan Orang Kaya
Tanggal: 27 Jul 2024 21:53 wib.
Terdengar mengejutkan, namun data yang baru-baru ini diungkapkan oleh Wakil Ketua Komisi VII DPR Eddy Soeparno menunjukkan bahwa 80% pengguna Bahan Bakar Minyak (BBM), terutama Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) atau Pertalite, ternyata berasal dari kalangan masyarakat yang mampu secara ekonomi. Bahkan, menurut Eddy, bukan hal yang tidak mungkin bahwa orang yang menikmati BBM subsidi memiliki lebih dari satu kendaraan.
Menurut Eddy, hal ini menjadi permasalahan dalam penyaluran subsidi BBM. Seharusnya, subsidi BBM disalurkan kepada masyarakat yang membutuhkannya, seperti masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi dan UMKM. Namun kenyataannya, orang yang termasuk dalam desil 5-10 (kelompok terkaya) justru mengonsumsi sekitar 79,3% Pertalite, sementara desil 1-4 (kelompok masyarakat termiskin) hanya menikmati sekitar 20,7% Pertalite menurut hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susesnas) 2020.
Lebih lanjut, laporan dari Institute for Essential Services Reform (IESR) juga mencatat bahwa 40% subsidi BBM di Indonesia dinikmati oleh 20% rumah tangga terkaya. Bahkan, pada tahun ini sendiri, kompensasi untuk Solar dan Pertalite mencapai Rp 163 triliun, di mana 80% di antaranya dinikmati oleh orang kaya dan mampu.
Menurut Eddy, masalah utama dalam penyaluran subsidi BBM adalah ketidaktepatan mekanisme pendistribusiannya, terutama untuk Pertalite dan Solar. Hal ini memungkinkan siapa pun, termasuk orang kaya, untuk membeli BBM bersubsidi tanpa hambatan.
Eddy juga menekankan bahwa jika subsidi dapat disalurkan pada sasaran yang tepat, maka pemerintah dapat menghemat dana sebesar Rp 130 triliun, yang nantinya dapat digunakan untuk program percepatan pembangunan dan bantuan sosial bagi masyarakat tidak mampu. Bahkan, catatan dari Energy Watch pada tahun 2022 menunjukkan bahwa penghematan subsidi BBM sebesar 100 triliun dapat memberikan beasiswa untuk 8,3 juta siswa, membangun 40 ribu sekolah, dan 20 ribu Puskesmas.
Pendistribusian subsidi BBM yang tidak tepat sasaran dapat menjadi beban bagi APBN, sementara sebagian besar manfaatnya justru dirasakan oleh orang-orang yang sebenarnya tidak membutuhkannya. Hal ini merupakan indikasi bahwa adanya penyimpangan dalam penyaluran subsidi BBM, yang pada akhirnya merugikan masyarakat yang membutuhkan bantuan tersebut.