Tenun Sekomandi: Warisan Leluhur Kalumpang yang Jadi Identitas Budaya Sulawesi Barat
Tanggal: 28 Agu 2025 13:57 wib.
Di tengah arus modernisasi yang semakin deras, tenun Sekomandi dari Kalumpang, Mamuju, Sulawesi Barat, tetap berdiri kokoh sebagai simbol warisan budaya yang sarat makna spiritual dan nilai sejarah. Wakil Menteri Pariwisata Ni Luh Puspa menegaskan bahwa tenun Sekomandi bukan hanya sekadar kain tradisional, melainkan cerminan kearifan lokal yang mengikat kehidupan masyarakat, membentuk ekosistem budaya, serta menjadi daya tarik wisata yang mampu mengangkat nama Sulawesi Barat ke kancah internasional. Dalam kunjungannya ke Rumah Tenun Sekomandi di Kalumpang, ia menekankan pentingnya menjaga dan melestarikan peninggalan leluhur yang telah diwariskan selama berabad-abad.
Sejarah panjang tenun Sekomandi membuatnya kian istimewa. Kain ini diyakini sebagai salah satu tenun tertua di dunia, dengan usia lebih dari lima abad. Pada tahun 2016, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menetapkannya sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia, sebuah pengakuan resmi atas nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Tidak berhenti di situ, beberapa motif kain Sekomandi bahkan memiliki kemiripan dengan ornamen seni prasejarah yang ditemukan di situs arkeologi Kalumpang, menandakan bahwa kain ini telah menyatu dengan peradaban masyarakat sejak zaman purba.
Salah satu motif paling terkenal adalah “Ulu Karua”, yang dikenal pula dengan sebutan “Ba’ba Deata”. Motif ini memiliki makna filosofis yang dalam. “Ulu Karua” berarti delapan ketua adat yang mewakili leluhur pemimpin masyarakat adat di masa lalu. Sedangkan “Ba’ba Deata” merepresentasikan kesatuan dan kekuatan rumpun keluarga besar. Menurut cerita turun-temurun, motif pertama tenun Sekomandi lahir ketika seorang nenek moyang pemburu bersama anjingnya menemukan daun bermotif di sebuah gua. Anjing itu menggigit daun tersebut, dan dari sanalah terinspirasi pola pertama yang kemudian diturunkan hingga kini. Kisah ini diwariskan secara lisan, menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya masyarakat Kalumpang.
Proses pembuatan tenun Sekomandi sendiri tidak hanya teknis, tetapi juga sarat dengan pengalaman spiritual. Nurhayati, salah satu keturunan penerus tradisi ini, mengungkapkan bahwa ada kepercayaan bahwa penenun mendapatkan “ilham” melalui pengalaman mistis yang kemudian mengarahkan mereka bagaimana menenun kain ini. Itulah mengapa setiap helai Sekomandi diyakini memiliki roh, bukan hanya sekadar karya seni.
Tahapan pembuatan tenun Sekomandi juga memperlihatkan betapa detail dan kompleksnya proses tersebut. Dimulai dari tahap ma’kare’, yaitu memintal kapas menjadi benang. Setelah itu masuk ke tahap mangrara, di mana benang diberi warna menggunakan bahan alami yang diracik dari akar, daun, kulit kayu, hingga tanaman cabai. Pemilihan pewarna alami inilah yang membuat kain Sekomandi memiliki aroma khas rempah-rempah yang unik dan membedakannya dari kain lain. Dominasi warna merah kecokelatan atau krem berpadu dengan dasar hitam memberikan nuansa klasik yang elegan sekaligus sakral.
Langkah berikutnya adalah ma’bida, yakni proses mengikat benang sesuai pola atau motif yang diinginkan. Tahap terakhir, ma’tannun, dilakukan dengan menenun benang pada alat tradisional yang disebut gedogan. Keseluruhan proses ini tidak sebentar—dibutuhkan waktu hingga tiga bulan hanya untuk menghasilkan sehelai kain. Inilah yang membuat setiap lembar Sekomandi begitu berharga, karena ia lahir dari kerja keras, kesabaran, dan pengabdian panjang para penenunnya.
Hingga kini, Nurhayati masih menyimpan kain Sekomandi motif “Ulu Kalua” yang diperkirakan berusia lebih dari seratus tahun. Meski warnanya mulai memudar seiring perjalanan waktu, kain tersebut tetap menyimpan kualitas dan keaslian yang sulit tergantikan. Kain itu bukan sekadar benda lama, melainkan saksi bisu perjalanan budaya yang terus hidup di tengah masyarakat Kalumpang.
Keberadaan tenun Sekomandi kini bukan hanya kebanggaan lokal, tetapi juga potensi besar sebagai daya tarik wisata berbasis komunitas. Ni Luh Puspa berharap agar warisan luhur ini tidak hanya dijaga sebagai simbol masa lalu, tetapi juga dijadikan inspirasi oleh pelaku usaha dan generasi muda untuk terus mengembangkan produk budaya unggulan. Dengan begitu, Sekomandi bisa terus mendunia tanpa kehilangan akar tradisinya, menjadi bukti nyata bahwa warisan leluhur dapat hidup berdampingan dengan era modern, serta tetap memancarkan pesona spiritual dan kearifan lokal Sulawesi Barat.