Tarif Kereta Cepat Terlalu Mahal? Warga Pertanyakan Manfaat Nyata Proyek Mewah Ini
Tanggal: 14 Mei 2025 18:39 wib.
Tampang.com | Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) yang digadang-gadang sebagai simbol kemajuan transportasi Indonesia kini mulai menuai kritik. Salah satu sorotan utamanya adalah tarif tiket yang dianggap tidak terjangkau oleh masyarakat umum.
Tiket Mahal, Rakyat Sulit Menikmati
Tarif perjalanan kereta cepat yang mencapai Rp250.000 hingga Rp350.000 sekali jalan dinilai terlalu mahal dibanding moda transportasi lain yang lebih terjangkau seperti bus atau kereta reguler.
“Saya lebih pilih naik kereta biasa, cuma beda 1–2 jam tapi hemat ratusan ribu,” ujar Yuni, pekerja kantoran yang rutin bepergian dari Bandung ke Jakarta.
Proyek Infrastruktur atau Simbol Elitisme?
Alih-alih menjadi solusi transportasi massal, banyak pihak menilai KCJB hanya menjadi proyek prestisius yang tidak menyentuh kebutuhan masyarakat bawah.
“Proyek ini menunjukkan bagaimana infrastruktur dibangun bukan berdasarkan kebutuhan rakyat, tapi untuk citra dan kepentingan ekonomi kelompok tertentu,” kata Fikri Ramadhan, analis transportasi dari Institut Studi Pembangunan Perkotaan.
Minim Integrasi dan Akses Lanjutan
Masalah lain yang muncul adalah kurangnya integrasi dengan transportasi lanjutan. Stasiun kereta cepat yang berada jauh dari pusat kota menyulitkan akses bagi penumpang. Alhasil, waktu dan biaya tambahan untuk mencapai tujuan justru membuat kereta cepat jadi tidak efisien.
Janji Pemerintah vs Realita di Lapangan
Pemerintah sempat menjanjikan KCJB sebagai solusi mengurangi kemacetan dan polusi, namun belum terlihat dampak nyata di lapangan. Sebaliknya, biaya pembangunan yang membengkak dan subsidi dari APBN justru menambah beban negara.
“Rakyat patungan lewat pajak untuk membiayai proyek ini, tapi tidak semua bisa menikmatinya,” tambah Fikri.
Transportasi Publik Seharusnya Inklusif, Bukan Eksklusif
Prinsip dasar transportasi publik adalah keterjangkauan dan aksesibilitas. Tanpa itu, pembangunan hanya akan memperlebar kesenjangan dan menimbulkan frustrasi publik terhadap kebijakan negara.