Tanggapan Puan, KPK, hingga FITRA Soal Kenaikan Dana Bantuan Partai Politik
Tanggal: 28 Mei 2025 20:50 wib.
Tampang.com | Kenaikan anggaran bantuan keuangan untuk partai politik (parpol) kembali menjadi sorotan di kalangan politikus maupun masyarakat. Tahun ini, Partai Gerindra menerima dana bantuan partai politik sebesar Rp 20,07 miliar dari pemerintah, meningkat dari Rp 18,2 miliar pada tahun sebelumnya. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah langkah ini bisa dianggap realistis dan efektif, mengingat terbatasnya anggaran negara yang ada saat ini.
Ketua DPR RI Puan Maharani memberikan tanggapan terkait isu ini dengan menekankan pentingnya melakukan kajian mendalam sebelum meratifikasi peningkatan bantuan tersebut. Ia mengungkapkan keprihatinannya mengenai ketersediaan anggaran di APBN dan menekankan pentingnya perencanaan yang berkelanjutan. "Kita harus melihat ke depannya, apakah kemudian anggaran APBN-nya mencukupi?" ungkapnya saat sesi wawancara di Senayan, Jakarta, pada Ahad, 25 Mei 2025, seperti yang dirilis oleh Antara.
Mengenai besaran dan skema bantuan, Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2018 menetapkan bahwa bantuan untuk partai politik diberikan berdasarkan jumlah suara yang diperoleh dalam pemilu. Besarannya adalah Rp 1.000 per suara sah untuk tingkat pusat, Rp 1.200 di tingkat provinsi, dan Rp 1.500 untuk tingkat kabupaten/kota. Skema ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2015 yang hanya mencakup Rp 108 per suara. Metodologi ini dirancang untuk merefleksikan dukungan publik yang lebih akurat dan adil.
Sebuah kajian dari Kementerian Keuangan menyatakan bahwa pendekatan berbasis suara lebih representatif mengenai dukungan publik ketimbang berdasarkan jumlah kursi yang diperoleh. Dalam konteks internasional, Indonesia relatif tertinggal dalam hal ini. Misalnya, Jerman memberikan bantuan senilai 0,7 euro (sekitar Rp 12.825) per suara, sementara Jepang memberikan 250 yen (sekitar Rp 264) per suara. Mengingat hal tersebut, kajian ini merekomendasikan kenaikan bantuan hingga Rp 810 per suara, berlandaskan upah minimum, atau Rp 265 jika disesuaikan dengan daya beli yang ada.
Dari sisi partai politik, Sekjen Partai Gerindra, Ahmad Muzani, menyambut positif kenaikan dana bantuan ini. Ia menjelaskan bahwa sekitar 88 persen dari dana bantuan pada tahun lalu digunakan untuk pendidikan politik, sedangkan sisanya digunakan untuk operasional. Laporan keuangan partai pun telah mendapatkan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). "Walaupun kami menyadari dana itu belum sepenuhnya dapat menutupi kebutuhan operasional partai ke depan, bantuan ini tetap memberikan dukungan yang berarti," jelas Ahmad.
Wacana peningkatan dana bantuan ini juga mendapatkan dukungan dari Wakil Ketua KPK, Fitroh Rohcahyanto. Ia mengemukakan bahwa sistem pembiayaan politik yang memadai dapat mengurangi risiko terjadinya korupsi. Menurutnya, tingginya biaya untuk menjabat sebagai pejabat publik sering kali memicu praktik balas budi kepada para pemodal yang terlibat.
Namun, tidak semua pihak sependapat dengan pandangan ini. Peneliti dari BRIN, Wasisto Raharjo, mengemukakan bahwa masalah korupsi lebih erat kaitannya dengan adanya celah dan peluang ketimbang sekedar batasan dana. Ia menekankan bahwa transparansi dan akuntabilitas dalam pelaporan keuangan partai politik adalah kunci yang harus diutamakan.
Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) memberikan dukungan terhadap peningkatan dana, tetapi dengan sejumlah syarat yang harus dipenuhi, termasuk keharusan akan transparansi, peningkatan kapasitas kader, dan adanya indikator kinerja legislator yang jelas. "Penambahan dana bantuan untuk parpol tidak akan menjamin pencegahan korupsi jika tata kelola anggaran tidak diperbaiki," tandas Siska Barimbing, perwakilan dari FITRA, menambahkan pandangan mengenai isu tersebut.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, menganggap wacana ini sebagai langkah yang bertentangan dengan upaya Presiden Prabowo Subianto dalam mengoptimalkan anggaran negara yang ada. "Bagi saya, solusi untuk mengatasi korupsi dalam politik mungkin bisa ditempuh dengan kebijakan yang lebih tegas, seperti hukuman berat bagi pelanggar," ungkapnya, menunjukkan ketidakpuasan terhadap cara-cara yang ada saat ini.
Daniel Ahmad Fajri berkontribusi dalam penulisan artikel ini.