Sumber foto: Google

Subsidi Energi Dipangkas Diam-diam, Mengapa Rakyat yang Selalu Menanggung?

Tanggal: 10 Mei 2025 11:56 wib.
Tampang.com | Pemerintah memutuskan untuk memangkas anggaran subsidi energi secara bertahap di tahun 2025. Langkah ini dilakukan di tengah harga minyak dunia yang fluktuatif dan nilai tukar rupiah yang melemah. Tanpa pengumuman luas, keputusan ini justru berimbas pada kenaikan tarif BBM non-subsidi dan potensi kenaikan tarif listrik. Rakyat pun kembali menjadi korban dari penyesuaian kebijakan fiskal ini.

APBN 2025 Kurangi Porsi Subsidi Energi

Dalam dokumen RAPBN 2025, tercatat bahwa belanja subsidi energi hanya dialokasikan sebesar Rp160 triliun—lebih rendah dari tahun sebelumnya. Pemerintah berdalih bahwa efisiensi subsidi diperlukan untuk mengalihkan dana ke sektor produktif seperti pendidikan dan infrastruktur.

“Tapi faktanya, rakyat tidak serta-merta merasakan manfaat alih alokasi itu. Justru yang langsung terasa adalah naiknya beban hidup,” ujar Ahmad Nashir, analis kebijakan fiskal.

BBM Non-Subsidi Naik, Harga Barang Ikut Melonjak

Kenaikan harga BBM jenis Pertamax dan Dexlite di sejumlah SPBU sudah mulai terjadi sejak Maret 2025. Imbasnya, ongkos distribusi barang naik, dan harga kebutuhan pokok ikut terdongkrak. Hal ini memukul masyarakat kelas menengah ke bawah yang tidak menerima subsidi langsung.

“Kalau Pertamax naik, sayur pun ikut naik. Semua saling kait,” keluh Lilis, pedagang sayur di Jakarta Timur.

Listrik Jadi Komoditas Mahal?

Selain BBM, potensi kenaikan tarif listrik juga mulai mencuat. PLN menyatakan tarif penyesuaian bisa diberlakukan jika harga batu bara dan nilai tukar tak kunjung stabil. Dengan pemangkasan subsidi, masyarakat rentan mengalami lonjakan tagihan listrik dalam waktu dekat.

“Sekarang tiap bulan takut buka tagihan. Listrik jadi barang mewah,” ujar Ridho, buruh pabrik di Karawang.

Mengapa Subsidi Selalu Dipotong Saat Rakyat Sulit?

Pengamat menilai pemerintah terlalu mudah menjadikan subsidi energi sebagai ‘korban pertama’ ketika APBN tertekan, tanpa memperhatikan dampak sosialnya. Padahal, subsidi energi masih sangat dibutuhkan oleh mayoritas masyarakat.

“Bukan soal pro-pasar atau pro-negara, tapi soal keadilan. Jangan rakyat kecil yang terus disuruh berhemat,” kritik Ahmad Nashir.

Solusi: Perbaiki Target, Bukan Pangkas Total

Daripada memangkas subsidi secara total, pemerintah seharusnya memperbaiki mekanisme penyaluran agar tepat sasaran. Teknologi digital dan data kependudukan bisa digunakan untuk memastikan subsidi hanya diterima kelompok rentan.

“Bukan kurangi anggaran, tapi benahi distribusi. Itu tugas negara,” tegas Nashir.

Rakyat Berhak atas Energi Terjangkau

Energi adalah hak dasar, bukan barang mewah. Dalam situasi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, kebijakan pemangkasan subsidi bisa memperparah ketimpangan dan menurunkan daya beli rakyat.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved