Suara Perempuan Buruh di May Day 2025: Dari Ancaman PHK hingga Janji yang Tak Kunjung Terealisasi
Tanggal: 4 Mei 2025 08:52 wib.
Hari Buruh Internasional (May Day) 2025 kembali menjadi momentum penting bagi jutaan pekerja di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Tanggal 1 Mei kemarin, ribuan buruh dari berbagai daerah turun ke jalan, berkumpul di depan Gedung DPR/MPR/DPD untuk menyuarakan tuntutan mereka, termasuk soal kesejahteraan dan perlindungan hukum. Aksi ini diwarnai dengan berbagai suara, salah satunya dari para buruh perempuan yang menyampaikan keresahan mereka terhadap sistem ketenagakerjaan yang masih belum berpihak pada buruh.
Salah satu suara yang cukup menonjol datang dari Casmi, seorang anggota Barisan Pelopor (Bapor). Dalam wawancaranya dengan CNBC Indonesia, ia mengkritik lemahnya kebijakan perlindungan terhadap buruh, khususnya dalam menghadapi ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK). Menurut Casmi, langkah-langkah pemerintah selama ini masih terlalu reaktif dan belum menyentuh akar permasalahan.
“Kalau bicara soal PHK, jangan nunggu kejadian dulu baru dibentuk satgas. Pemerintah harusnya punya langkah antisipatif, bukan cuma responsif,” tegasnya di lokasi aksi.
Casmi juga menyoroti kebijakan ketenagakerjaan yang berlaku saat ini. Ia menilai bahwa selama Undang-Undang Cipta Kerja tetap diberlakukan, maka posisi buruh tidak akan pernah mendapat tempat yang adil. Kenaikan Upah Minimum Regional (UMR) yang seringkali dijadikan sebagai pencapaian oleh pemerintah, menurutnya, hanyalah ilusi.
“Kita memang naik gaji, tapi harga-harga juga naik. Beras, telur, listrik—semua ikut naik. Akhirnya buruh tetap aja terjepit,” keluh Casmi.
Ia mengajak pemerintah untuk berhenti berpihak pada pengusaha semata. Menurutnya, keberpihakan yang timpang membuat buruh semakin terpinggirkan dalam sistem ekonomi nasional. “Pengusaha itu bukan satu-satunya motor ekonomi. Buruh juga punya peran vital. Tapi kita selalu diabaikan,” ungkapnya.
Di sisi lain, kritik serupa datang dari sektor agraria. Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria, menyampaikan bahwa krisis ekonomi tidak hanya melanda industri manufaktur, tetapi juga menghantam sektor pertanian dan agraria secara serius. Ia menyebut bahwa kebijakan pembangunan hilirisasi yang digalakkan pemerintah justru berasal dari eksploitasi tanah dan sumber daya alam, bukan dari perlindungan terhadap para petani dan buruh agraria.
“Krisis ini dimanfaatkan untuk membangun hilirisasi, tapi dengan mengorbankan tanah-tanah rakyat. Pemerintah, termasuk Prabowo, belum menyentuh persoalan mendasarnya,” ujar Dewi dengan nada prihatin.
Menurutnya, selama reformasi agraria tidak dijalankan dengan sungguh-sungguh, maka mimpi tentang swasembada pangan hanya akan menjadi retorika politik belaka. Ia menekankan pentingnya memperkuat posisi petani jika pemerintah benar-benar ingin membangun ketahanan pangan nasional.
“Yang terjadi saat ini justru sebaliknya. Petani makin ditekan, bukan diperkuat,” tambahnya.
Di tempat berbeda, tepatnya di Lapangan Silang Monas, Jakarta Pusat, cerita lain datang dari Pilka, seorang buruh perempuan berusia 28 tahun yang bekerja di PT SIK Karawang. Ia menggambarkan kerasnya dunia kerja dengan sistem kontrak berkepanjangan. Meski telah magang selama satu tahun, status kerjanya tetap harus diperpanjang setiap tiga bulan.
“Bayangin aja, sudah setahun magang, tapi tiap tiga bulan harus kontrak ulang. Rasanya lelah secara mental,” tutur Pilka.
Menurutnya, banyak buruh muda yang seharusnya sudah layak menjadi karyawan tetap, namun terus-menerus dipaksa berada dalam ketidakpastian status kerja. Ia merasa beruntung karena kondisi perusahaan tempatnya bekerja relatif baik, termasuk dari sisi tunjangan. Tapi ia juga menyadari bahwa tidak semua buruh memiliki nasib sebaik dirinya.
“Ada banyak teman yang kondisinya jauh di bawah saya. Nggak semua perusahaan memperlakukan buruhnya dengan layak,” jelasnya.
Pilka pun menyampaikan harapannya kepada sesama buruh perempuan yang belum bisa hadir dalam perayaan May Day tahun ini. Ia berharap tahun depan mereka bisa turut serta menyuarakan aspirasi bersama-sama.
“Semoga tahun depan bisa ikut turun ke jalan, bisa merasakan semangat perjuangan ini. Hari ini, kami wakili mereka semua,” pungkasnya penuh semangat.
Perayaan May Day tahun ini kembali menunjukkan bahwa perjuangan buruh, khususnya perempuan, masih jauh dari kata selesai. Mulai dari persoalan PHK massal, ketidakpastian status kerja, hingga ketimpangan kebijakan ekonomi yang lebih berpihak pada pengusaha, semua menjadi catatan kritis yang perlu segera ditindaklanjuti pemerintah.
Momen Hari Buruh bukan sekadar seremoni, tapi ruang penting untuk mendengarkan langsung suara mereka yang selama ini menjadi tulang punggung industri dan pertanian Indonesia. Jika pemerintah ingin membangun masa depan ekonomi yang adil dan berkelanjutan, maka buruh bukan untuk dipinggirkan—tetapi harus dijadikan prioritas.