Suara Masyarakat dan Kebangkitan Demonstrasi di Indonesia

Tanggal: 22 Feb 2025 17:32 wib.
Tampang.com | Gelombang demonstrasi yang melibatkan mahasiswa serta sejumlah organisasi masyarakat sipil dengan sebutan "Indonesia Gelap" berlangsung di berbagai daerah, termasuk Jakarta, antara tanggal 17 dan 21 Februari. Dalam aksi tersebut, ribuan demonstran menyerbu kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan berkumpul di kawasan Patung Kuda, Jakarta, yang tak jauh dari Istana Negara.

Salah satu latar belakang utama protes ini adalah kebijakan efisiensi anggaran yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto. Kebijakan ini telah mengarahkan perhatian pada pemotongan anggaran pada sektor-sektor penting, seperti pendidikan. Dedi, seorang pengamat, mengungkapkan bahwa adalah hal yang wajar bagi masyarakat sipil dan mahasiswa untuk melakukan demonstrasi yang berkelanjutan sebagai bentuk kritik terhadap kebijakan pemerintah.

Dedi menilai bahwa berbagai kebijakan yang diambil di awal masa jabatan Prabowo tidak mencerminkan janji-janji yang sering disampaikannya. Ia menambahkan, praktik efisiensi melalui pemotongan anggaran berisiko menghambat pembangunan yang sangat dibutuhkan. Dalam pandangannya, jika pemerintah benar-benar ingin melakukan efisiensi, maka langkah yang diambil seharusnya adalah merampingkan jumlah kementerian, bukan sekadar memotong anggaran yang mungkin akan berdampak negatif terhadap sektor-sektor vital.

Lebih lanjut, Dedi berpendapat bahwa pemotongan anggaran pendidikan adalah langkah yang tidak rasional, mengingat anggaran tersebut sudah dianggap belum maksimal dalam mendorong kemajuan pendidikan di Indonesia. Ia mencermati bahwa arah kebijakan pemerintah saat ini cenderung tidak konsisten.

Oleh karena itu, Dedi mengingatkan Prabowo untuk terbuka dengan aspirasi dan kritik yang muncul selama demonstrasi. Dukungan masyarakat sangat penting bagi pemerintahan dalam menjalankan kebijakan-kebijakan yang ada. Ia mendorong pemerintah untuk lebih mendengarkan suara publik serta mengevaluasi setiap kebijakan yang diterapkan.

Sebelum aksi tersebut, peneliti senior dari Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Lili Romli, mengungkap bahwa gerakan "Indonesia Gelap" dan tagar #KaburAjaDulu mencerminkan kekecewaan masyarakat terhadap kondisi yang ada di Indonesia saat ini. Harapan masyarakat terhadap presiden terpilih pada Pilpres 2024 sangat tinggi, namun realita yang terjadi justru jauh dari ekspektasi.

“Masyarakat berharap ada perubahan signifikan setelah pemilu, seperti peningkatan lapangan pekerjaan dan daya beli yang lebih baik. Namun, harapan itu tidak terwujud dan hanya menimbulkan rasa kekecewaan yang terwujud dalam aksi demonstrasi dan media sosial seperti tagar #kaburajadulu,” ungkap Lili.

Pendapat serupa juga dilontarkan oleh Ali Rif'an, Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia (ASI). Ia menilai bahwa ketidakpuasan masyarakat terus meningkat seiring dengan kebijakan pemerintah yang dianggap tidak selaras. Ali menyayangkan bahwa efisiensi anggaran yang dilakukan tidak dialokasikan untuk hal-hal penting, seperti tunjangan kinerja dosen, melainkan untuk program yang banyak mendapat kritik.

Ali menambahkan bahwa gerakan demonstrasi ini diperkirakan akan terus berkembang seiring dengan dinamika politik yang terjadi. Ia mengingatkan bahwa jika pemerintahan Prabowo tidak mampu memberikan tanggapan dan klarifikasi terkait berbagai paradoks yang muncul, maka demonstrasi dan gerakan protes bisa terus meluas.

Di sisi lain, respons dari pemerintah juga datang dari Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, yang berbeda pendapat mengenai sebutan "Indonesia Gelap" dalam demonstrasi tersebut. Meskipun menghormati hak masyarakat untuk berekspresi, Prasetyo meminta agar narasi yang diungkapkan tidak menyimpang dari fakta yang ada.

“Ini adalah bentuk kebebasan berekspresi. Namun, saya berharap narasi yang digunakan tidak menyesatkan. Tidak ada yang namanya Indonesia Gelap,” tegas Prasetyo di Kompleks Parlemen. Ia juga mengajak masyarakat untuk tetap optimis dan bersatu dalam membangun Indonesia, serta memaklumi bahwa pemerintah baru bekerja selama empat bulan.

Sementara itu, Menteri Ketenagakerjaan Yassierli memberikan pandangannya terkait tagar #KaburAjaDulu yang muncul sebagai reaksi dari masyarakat terhadap peluang kerja di luar negeri. Ia mengakui tantangan yang dihadapi pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja yang lebih baik di dalam negeri, namun tetap mendorong masyarakat untuk meningkatkan keterampilan dan memanfaatkan peluang di luar negara.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved