Sumber foto: Canva

Suap Menyuap dan Saling Sikut: Potret Kelam Tata Kelola Pemerintahan

Tanggal: 9 Jul 2025 09:15 wib.
Isu suap menyuap dan praktik saling sikut dalam lingkaran pemerintahan bukanlah fenomena baru, namun tetap menjadi duri dalam daging bagi upaya membangun tata kelola yang bersih dan berintegritas. Berbagai laporan, investigasi, dan pemberitaan seringkali mengungkap bagaimana praktik-praktik koruptif ini merusak fondasi kepercayaan publik dan menghambat kemajuan bangsa. Ini bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan erosi sistemik yang berdampak pada setiap aspek kehidupan masyarakat.

Akar Permasalahan: Dari Keserakahan hingga Sistem yang Rapuh

Fenomena suap menyuap dan saling sikut di kalangan pejabat pemerintahan dapat berakar dari berbagai faktor kompleks. Pada tingkat individu, keserakahan dan mentalitas mencari keuntungan pribadi yang berlebihan seringkali menjadi pemicu utama. Kekuasaan yang melekat pada jabatan publik dapat disalahgunakan untuk memperkaya diri atau kelompok tertentu.

Namun, masalah ini jarang berdiri sendiri. Sistem yang rapuh dan kurangnya pengawasan efektif turut membuka celah bagi praktik-praktik tercela. Ketika transparansi minim, akuntabilitas lemah, dan sanksi tidak ditegakkan secara tegas, godaan untuk menyalahgunakan wewenang menjadi lebih besar. Lingkungan politik yang sangat kompetitif, di mana "biaya" untuk mencapai atau mempertahankan jabatan sangat tinggi, juga bisa mendorong praktik suap menyuap sebagai cara untuk mengamankan posisi atau proyek. "Saling sikut" menjadi manifestasi dari perebutan pengaruh, akses terhadap sumber daya, atau bahkan upaya untuk menjatuhkan lawan politik demi kepentingan pribadi atau kelompok.

Dampak Destruktif pada Masyarakat dan Negara

Dampak dari suap menyuap dan saling sikut jauh melampaui kerugian finansial semata. Ini adalah racun yang merusak berbagai sendi kehidupan:

Kerugian Finansial Negara: Dana publik yang seharusnya dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, atau layanan dasar lainnya, lenyap ke kantong-kantong pribadi. Ini berarti jalan-jalan rusak tak diperbaiki, sekolah-sekolah kumuh, rumah sakit kekurangan fasilitas, dan masyarakat miskin tetap terjebak dalam lingkaran kemiskinan.

Erosi Kepercayaan Publik: Ketika masyarakat menyaksikan pejabat yang seharusnya melayani justru terlibat dalam praktik kotor, tingkat kepercayaan terhadap institusi pemerintah akan merosot tajam. Hilangnya kepercayaan ini bisa memicu apati politik, ketidakpatuhan hukum, bahkan gejolak sosial.

Distorsi Keadilan dan Meritokrasi: Praktik suap menyuap seringkali berarti posisi atau proyek diberikan bukan berdasarkan kompetensi atau kinerja, melainkan karena pembayaran di bawah tangan. Ini merusak prinsip meritokrasi, menghambat orang-orang berintegritas untuk berkarya, dan menciptakan lingkungan kerja yang tidak sehat.

Hambatan Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi: Investor, baik domestik maupun asing, cenderung enggan berinvestasi di negara atau daerah dengan tingkat korupsi yang tinggi. Ketidakpastian hukum, biaya transaksi yang tidak terduga, dan risiko penipuan membuat iklim investasi menjadi tidak menarik, menghambat penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi.

Kualitas Layanan Publik yang Buruk: Proyek-proyek yang dikerjakan berdasarkan suap seringkali menghasilkan infrastruktur atau layanan dengan kualitas rendah karena anggarannya dikorupsi. Ini secara langsung merugikan masyarakat yang bergantung pada layanan tersebut.

Upaya Perbaikan dan Tantangan ke Depan

Berbagai upaya telah dan terus dilakukan untuk memberantas praktik suap menyuap dan saling sikut. Penguatan lembaga anti-korupsi, perbaikan regulasi, peningkatan transparansi anggaran, penerapan sistem digital untuk mengurangi interaksi langsung yang rawan suap, hingga edukasi publik tentang bahaya korupsi. Whistleblower protection dan sanksi yang lebih berat juga menjadi bagian dari strategi.

Namun, tantangannya tidak kecil. Praktik korupsi seringkali terorganisir, melibatkan jaringan yang luas, dan sangat adaptif terhadap upaya pemberantasan. Kultur "titip-menitip" atau "balas jasa" yang mengakar juga sulit dihilangkan dalam semalam. Diperlukan komitmen politik yang kuat, partisipasi aktif masyarakat, dan penegakan hukum yang tanpa pandang bulu untuk menciptakan perubahan yang signifikan.

Membangun Budaya Integritas

Akhirnya, kunci utama untuk mengatasi masalah ini adalah membangun budaya integritas yang kuat, baik di lingkungan pemerintahan maupun di masyarakat luas. Ini berarti menanamkan nilai-nilai kejujuran, akuntabilitas, dan pelayanan publik yang tulus sejak dini. Pejabat publik harus menginternalisasi bahwa jabatan adalah amanah untuk melayani, bukan alat untuk memperkaya diri.

Pemberantasan suap menyuap dan praktik saling sikut adalah pekerjaan rumah yang berkelanjutan dan membutuhkan sinergi dari seluruh elemen bangsa. Hanya dengan pemerintahan yang bersih dan berintegritas, cita-cita pembangunan dan kesejahteraan rakyat dapat terwujud sepenuhnya.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved