Sipil Berjubah Militer, Militer Berbalut Sipil: Ketika Batas Demokrasi Menjadi Kabur
Tanggal: 8 Mei 2025 10:27 wib.
Tampang.com – Di tengah kompleksitas dinamika kebangsaan, muncul sebuah kecenderungan yang makin mencolok: sipil dan militer seolah sedang bertukar peran. Dunia sipil kini mulai terisi oleh mereka yang berasal dari latar belakang militer, sementara sipil mulai mengadopsi gaya, atribut, dan cara berpikir khas militer.
Dua ranah yang sejatinya dipisahkan oleh konstitusi dan sejarah, kini tampak tumpang tindih. Fenomena ini tak hanya soal simbolik seperti seragam loreng, tapi menyentuh persoalan mendalam tentang fungsi, identitas, dan arah demokrasi kita.
Dalih Efisiensi atau Kekosongan Kepemimpinan Sipil?
Banyak pihak menyebut ini sebagai solusi pragmatis. Sipil “bermiliter” demi mendisiplinkan diri, dan militer masuk ke birokrasi sipil untuk mempercepat reformasi. Namun di balik itu semua, muncul pertanyaan: apakah sektor sipil kita sudah sebegitu lemahnya hingga harus diselamatkan oleh militer?
Jika benar, ini menjadi alarm keras tentang rapuhnya kepemimpinan sipil, dan ketidakmampuan sistem demokrasi untuk menumbuhkan kader-kader sipil yang kuat, berintegritas, dan efektif.
Medan Sipil Tak Sama dengan Medan Tempur
Ranah sipil mengandalkan fleksibilitas, keterbukaan, dan empati, sementara militer dibentuk untuk ketaatan, struktur hierarkis, dan ketegasan mutlak. Saat nilai-nilai militer ini dibawa ke ruang sipil—baik di kantor pemerintahan, sekolah, maupun organisasi kemasyarakatan—yang terbentuk bukanlah efisiensi, melainkan budaya otoriter yang kering dari partisipasi publik.
Anak-anak muda yang seharusnya tumbuh dalam lingkungan yang memupuk daya pikir kritis dan kreativitas, kini justru dijejali model pendidikan yang menyeragamkan. Program pendidikan karakter ala militer mungkin efektif menimbulkan rasa takut dan patuh, tetapi tak menjamin munculnya pribadi yang mandiri dan berpikir bebas.
Ormas Bergaya Militer: Ancaman Nyata di Jalanan
Masalah tak berhenti di institusi resmi. Kini, kita juga menyaksikan tumbuhnya ormas-ormas sipil yang meniru gaya militer—lengkap dengan seragam loreng, aba-aba komando, bahkan tindakan intimidatif di lapangan. Dalam banyak kasus, mereka lebih agresif daripada aparat resmi.
Ini bukan hanya gangguan kecil. Ormas semacam ini mengikis batas antara sipil dan militer, menebar ketakutan di ruang publik, dan secara perlahan mendorong praktik kekuasaan tanpa legitimasi hukum.
Ketika Demokrasi Menjadi Kosong dari Jiwa Sipil
Apa yang kita lihat hari ini bukan hanya soal kostum atau simbol. Ini adalah indikator kegagalan kita membangun struktur sipil yang sehat. Jika terus bergantung pada militer untuk mengatasi masalah sipil, maka kita sedang melangkah mundur dari cita-cita reformasi dan demokrasi.
Lebih dari itu, kita sedang menciptakan generasi yang kehilangan kemampuan untuk berbeda pendapat, bernegosiasi, dan menghargai keberagaman. Demokrasi tanpa roh sipil adalah kerangka kosong yang hanya menunggu untuk diisi otoritarianisme.
Tampang.com mengajak pembaca untuk tidak hanya mempertanyakan kehadiran militer di ranah sipil, tetapi juga menuntut penguatan kapasitas sipil itu sendiri—baik melalui pendidikan, kepemimpinan publik, maupun institusi demokrasi yang tegas menjaga batas peran.