Sertifikasi Pranikah Mulai 2025, Solusi Cegah Perceraian atau Beban Baru?
Tanggal: 11 Mei 2025 10:01 wib.
Tampang.com | Pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) akan mewajibkan pasangan yang hendak menikah untuk mengikuti dan lulus program sertifikasi pranikah mulai pertengahan 2025. Kebijakan ini disebut sebagai upaya menekan angka perceraian yang terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Namun, kebijakan ini memicu perdebatan di masyarakat.
Tujuan: Menyiapkan Pasangan secara Mental dan Finansial
Menurut Kemenag, sertifikasi ini dirancang sebagai bentuk edukasi sebelum menikah, mencakup kesehatan reproduksi, manajemen keuangan, dan komunikasi dalam rumah tangga.
“Kami ingin pernikahan dimulai dengan pemahaman, bukan hanya kesiapan administratif. Ini investasi sosial jangka panjang,” ujar Dirjen Bimas Islam, Kamaruddin Amin.
Realita: Biaya Tambahan dan Akses Tak Merata
Meski niatnya baik, beberapa pihak menilai kebijakan ini berpotensi menambah beban bagi pasangan, khususnya mereka dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Biaya pelatihan, waktu yang dibutuhkan, serta akses terhadap lembaga penyelenggara jadi tantangan.
“Di desa saya belum ada fasilitas seperti itu. Kalau harus ke kota hanya untuk ikut pelatihan pranikah, itu memberatkan,” kata Rini, calon pengantin dari Subang.
Tingkat Perceraian Tinggi, Tapi Apakah Ini Solusinya?
Data Pengadilan Agama menunjukkan bahwa dalam lima tahun terakhir, lebih dari 450 ribu kasus perceraian tercatat setiap tahunnya, sebagian besar karena masalah ekonomi dan ketidakharmonisan. Namun, beberapa pakar meragukan bahwa sertifikasi pranikah bisa menjawab akar masalah.
“Masalah dalam pernikahan sangat kompleks. Edukasi perlu, tapi jangan disederhanakan jadi formalitas. Harus ada pendampingan berkelanjutan,” kata Dr. Mira Yunita, sosiolog keluarga dari UI.
Kritik: Pendekatan Terlalu Administratif
Sebagian masyarakat khawatir program ini akan menjadi persyaratan administratif yang kaku, bukan proses edukatif yang inklusif. Apalagi jika dikelola oleh birokrasi yang belum sepenuhnya siap.
“Kalau lulus-tidak lulus jadi penentu sah tidaknya menikah, ini berbahaya. Bisa jadi alat kontrol sosial yang menyulitkan rakyat,” tambah Mira.
Usulan: Sertifikasi sebagai Sarana, Bukan Hambatan
Pakar dan aktivis menyarankan agar kebijakan ini tetap bersifat edukatif dan tidak mempersulit akses pernikahan. Sertifikasi sebaiknya dilihat sebagai proses bimbingan, bukan ujian mutlak.
“Yang penting adalah proses pembelajaran, bukan stempel kelulusan. Negara harus memfasilitasi, bukan menilai kelayakan cinta,” tutup Mira.