Sumber foto: Cnbcindonesia.com

Selat Muria Tiba-tiba Muncul Lagi Usai 300 Tahun, Cek Faktanya

Tanggal: 14 Jul 2024 09:38 wib.
Selat Muria, kawasan perairan yang telah hilang selama 300 tahun, tiba-tiba muncul kembali di tengah dugaan peristiwa banjir di kota-kota Pantai Utara Jawa. Munculnya Selat Muria ini telah menimbulkan berbagai asumsi dan spekulasi mengenai kondisi geografis serta sejarahnya. Penemuan ini mengundang perhatian masyarakat dan pakar, yang mulai mempertanyakan kemungkinan munculnya kembali Selat Muria setelah sekian lama menghilang.

Selat Muria, sebelum abad ke-19 atau tahun 1800-an, adalah wilayah perairan yang memisahkan pulau vulkanik Gunung Muria dengan Pegunungan Kendeng di Pulau Jawa. Selat ini memanjang dari Timur ke Barat, melewati wilayah yang kini dikenal sebagai Demak, Kudus, Pati, dan Rempang. Pada masa lampau, Selat Muria menjadi jalur perdagangan yang penting, mempersingkat waktu perjalanan antara Semarang dan Rembang, serta menjadi pusat pelabuhan di sepanjang Pantura Timur Jawa Tengah.

Menurut Denys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa: Jaringan Asia (1999), Selat Muria merupakan daerah kunci pesisir utara Jawa pada akhir abad ke-16. Kota-kota di sepanjang pantai Timur Jawa Tengah, seperti Demak, Jepara, Kudus, Juwana, dan Rempah, menjadi pusat perniagaan laut dan pusat ekonomi, politik, serta keagamaan di bawah kekuasaan Kesultanan Demak. Kemudian, pada masa pemerintahan Ratu Kalinyamat tahun 1549-1579, terjadi perkembangan yang signifikan di wilayah tersebut, terutama di Jepara, yang berkembang menjadi bandar niaga utama di Pulau Jawa.

Namun, seiring berjalannya waktu, terjadi perubahan pada wilayah Selat Muria pada abad ke-17. Pendangkalan akibat sedimentasi sungai dan kondisi alamiah dari pasang surut membuat wilayah Selat Muria tidak lagi dapat digunakan sebagai jalur transportasi laut. Wilayah tersebut kemudian mulai dihuni dan digunakan untuk berbagai keperluan, membentuk wilayah-wilayah baru di kawasan Demak, Pati, dan Kudus.

Saat ini, ketika asumsi munculnya kembali Selat Muria terkait dengan banjir yang meningkat, para pakar melakukan berbagai penelitian dan analisis. Menurut Pakar Geologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Eko Soebowo, penurunan tanah di wilayah tersebut tidak semata-mata disebabkan oleh banjir. Faktor-faktor lain, seperti sedimentasi, karakteristik tanah, serta aktivitas manusia, turut berperan dalam fenomena ini.

Eko menjelaskan bahwa wilayah Semarang, Demak, dan sekitarnya mengalami penurunan permukaan tanah yang bervariasi, dengan intensitas tertinggi mencapai 10 sentimeter per tahun. Faktor alami dan antropogenik menjadi penyebab utama dari penurunan muka tanah tersebut. Faktor alami, seperti karakteristik tanah sedimen muda dan aktivitas tektonik, turut berkontribusi pada penurunan muka tanah. Di sisi lain, faktor antropogenik, yang disebabkan oleh ulah manusia dan infrastruktur, juga menjadi penyebab utama dari fenomena ini.

Dengan demikian, peristiwa banjir yang terjadi saat ini dapat menjadi titik awal dalam mengungkapkan kondisi geografis dan ekologis yang terkait dengan munculnya kembali Selat Muria. Namun, para pakar masih melakukan berbagai studi lebih lanjut untuk memastikan penyebab pasti dan juga dampak dari munculnya kembali Selat Muria ini.

Seiring dengan permasalahan ini, penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk melakukan langkah-langkah preventif dan mitigasi bencana. Upaya-upaya pengelolaan sungai, pemantauan sedimen, dan pendayagunaan wilayah harus terus ditingkatkan untuk mengurangi risiko bencana dan menjaga kelestarian lingkungan di wilayah Pantai Utara Jawa. Semua pihak, baik pemerintah, lembaga akademis, maupun masyarakat, perlu bekerjasama dalam upaya pelestarian lingkungan dan penyelamatan ekosistem di seluruh wilayah tersebut.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved