Sekolah Rusak Masih Banyak, Pemerataan Pendidikan Dipertanyakan!
Tanggal: 11 Mei 2025 07:55 wib.
Tampang.com | Pemerintah kerap menggembar-gemborkan visi Indonesia Emas 2045 dan pentingnya sumber daya manusia unggul. Namun di lapangan, ratusan sekolah di daerah terpencil masih rusak berat. Atap bocor, lantai retak, bahkan bangunan nyaris roboh. Ironisnya, kondisi ini berlangsung bertahun-tahun tanpa perhatian serius.
Sekolah Rusak Tak Hanya di Pelosok
Data Kemendikbudristek menyebutkan lebih dari 100 ribu ruang kelas di Indonesia dalam kondisi rusak, dari ringan hingga berat. Yang menyedihkan, kondisi mengenaskan ini tak hanya ditemukan di pelosok, tapi juga di kabupaten dan kota penyangga seperti Bogor, Serang, dan Klaten.
“Anak-anak belajar sambil menahan takut karena atap kelas bisa runtuh kapan saja,” ujar Sumarno, kepala sekolah SD di NTT. Ia menyebut gedung sekolahnya tak pernah direnovasi sejak 1998.
Anggaran Ada, Tapi Tak Sampai ke Sekolah
Setiap tahun, anggaran pendidikan diklaim mencapai 20% dari APBN. Namun nyatanya, distribusi dana tak merata. Banyak sekolah di daerah tertinggal yang tak kunjung mendapat bantuan renovasi, sementara sekolah-sekolah di pusat kota justru mendapat fasilitas baru dan alat digital.
“Keadilan anggaran itu masalah utama. Selama sistem pendataan dan eksekusi tidak transparan, maka ketimpangan akan terus terjadi,” jelas Hana Syahputri, peneliti kebijakan pendidikan.
Ketimpangan Infrastruktur Cermin Ketidakadilan Sosial
Sekolah yang rusak tak hanya berdampak pada fisik bangunan, tapi juga semangat belajar siswa. Di banyak daerah, murid harus belajar di bawah tenda darurat atau bergantian ruang kelas karena bangunan tidak layak.
“Kalau sekolah saja tak layak, bagaimana negara bisa bilang mendidik generasi masa depan?” tanya Hana.
Situasi ini mencerminkan bahwa janji pemerataan pendidikan belum benar-benar menyentuh akar persoalan.
Solusi: Audit Nasional dan Prioritaskan Sekolah Pinggiran
Para aktivis pendidikan menuntut pemerintah melakukan audit nasional terhadap kondisi sekolah secara berkala. Dana BOS dan DAK Fisik harus diarahkan lebih tepat sasaran, khususnya untuk sekolah dengan kondisi kritis.
“Jangan biarkan anak-anak daerah belajar dalam kondisi yang mencederai martabat mereka,” tegas Hana.
Ia juga menekankan pentingnya pelibatan masyarakat dalam pengawasan dana pendidikan agar tidak hanya jadi angka dalam laporan keuangan.
Pendidikan Berkualitas Tak Bisa Tanpa Ruang yang Layak
Jika Indonesia serius mencetak SDM unggul, maka prioritas utama adalah memastikan setiap anak—di manapun berada—belajar dalam lingkungan yang aman, layak, dan manusiawi. Pemerataan pendidikan bukan sekadar distribusi kurikulum, tapi juga jaminan infrastruktur dan keadilan sosial.
“Anak-anak tidak butuh janji, mereka butuh atap yang tidak bocor,” tutup Hana.