Sumber foto: Canva

Sejarah WC Jongkok di Indonesia: Dari Tradisi Hingga Modernisasi

Tanggal: 14 Agu 2025 11:35 wib.
WC jongkok, atau yang dalam bahasa Inggris dikenal sebagai squat toilet, adalah pemandangan umum di banyak rumah, fasilitas publik, hingga tempat ibadah di Indonesia. Bagi sebagian besar masyarakat, posisi jongkok saat buang air adalah sesuatu yang sudah mendarah daging, diturunkan dari generasi ke generasi. Keberadaannya bukan sekadar pilihan desain kamar mandi, tetapi memiliki sejarah panjang yang terkait erat dengan kebiasaan hidup, kesehatan, dan perkembangan sanitasi di Nusantara.

Warisan Kebiasaan Hidup Tradisional dan Kesehatan

Sebelum kehadiran toilet modern, masyarakat Indonesia memiliki cara buang air yang sangat sederhana, memanfaatkan alam. Mereka biasa pergi ke sungai, selokan, atau kebun. Posisi jongkok adalah posisi alami dan paling ergonomis untuk buang air. Posisi ini sudah menjadi kebiasaan turun-temurun yang secara tidak langsung membentuk preferensi masyarakat.

Seiring waktu, kebiasaan ini kemudian bergeser ke dalam rumah dalam bentuk jamban atau kakus sederhana. Awalnya, jamban ini seringkali hanya berupa lubang di atas tanah, kadang dilengkapi dengan pijakan dari bambu atau kayu. Bentuk toilet jongkok yang kita kenal sekarang, dengan bahan keramik atau semen, adalah modernisasi dari jamban tradisional ini. Secara kesehatan, banyak ahli yang berpendapat bahwa posisi jongkok sebenarnya lebih baik untuk proses buang air besar. Posisi ini membantu meluruskan usus dan otot panggul sehingga proses pengeluaran tinja menjadi lebih mudah dan alami, mengurangi risiko sembelit dan wasir.

Pengaruh Kolonial dan Perkembangan Sanitasi

Masuknya kolonialisme Belanda ke Indonesia membawa serta perubahan di berbagai aspek kehidupan, termasuk sanitasi. Bangsa Eropa lebih familiar dengan WC duduk (flush toilet). Toilet duduk mulai diperkenalkan di gedung-gedung pemerintahan, rumah-rumah elite, dan fasilitas umum yang dibangun oleh Belanda. Namun, penggunaannya tidak serta merta diadopsi oleh masyarakat luas. Ada beberapa alasan, di antaranya adalah biaya yang mahal dan perbedaan kebiasaan.

WC duduk saat itu dianggap sebagai barang mewah. Sementara itu, WC jongkok jauh lebih murah dan mudah dibuat, hanya membutuhkan semen dan keramik sederhana. Selain itu, penggunaan air untuk membersihkan diri juga menjadi faktor. Masyarakat Indonesia terbiasa menggunakan air dan tangan untuk membersihkan diri setelah buang air, sementara toilet duduk awalnya didesain untuk penggunaan tisu. Kebiasaan ini membuat toilet jongkok lebih cocok dengan praktik kebersihan yang sudah ada.

Modernisasi dan Koeksistensi Dua Jenis Toilet

Setelah kemerdekaan, pembangunan dan modernisasi terus berjalan. Toilet duduk semakin populer, terutama di hotel, apartemen, perkantoran, dan rumah-rumah di kota besar. Namun, WC jongkok tidak lantas menghilang. Keduanya hidup berdampingan. Toilet duduk dianggap lebih higienis karena tidak perlu kontak langsung dengan bagian dudukan, tetapi WC jongkok tetap menjadi pilihan utama di banyak tempat.

Pemerintah juga berperan dalam mendorong sanitasi yang lebih baik dengan program pembangunan jamban keluarga, yang seringkali menggunakan model WC jongkok karena alasan biaya dan kecocokan dengan kebiasaan lokal. Keberadaannya terus bertahan karena beberapa alasan, termasuk keyakinan bahwa WC jongkok lebih higienis jika dilihat dari sudut pandang tidak adanya kontak kulit dengan permukaan toilet. Selain itu, bagi orang tua dan lansia yang sudah terbiasa, posisi jongkok adalah posisi yang paling nyaman dan familiar.

Masa Depan Toilet di Indonesia

Saat ini, sudah banyak fasilitas umum yang menyediakan toilet jongkok dan duduk dalam satu ruangan, memberikan pilihan bagi penggunanya. Ini menunjukkan adanya evolusi dalam praktik sanitasi, yang berusaha mengakomodasi kebutuhan semua orang. Preferensi terhadap WC jongkok di Indonesia juga seringkali dipengaruhi oleh faktor budaya dan ajaran agama, di mana air dianggap sebagai alat pembersih yang utama.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved