SE Menaker Larangan Diskriminasi Rekrutmen Dinilai Belum Kuat
Tanggal: 1 Jun 2025 10:11 wib.
Jakarta, Tampang.com – Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/6/HK.04/V/2025 tentang Larangan Diskriminasi dalam Proses Rekrutmen Tenaga Kerja memang menjadi angin segar bagi para pencari kerja. Melalui SE tersebut, pemerintah berupaya memastikan tidak ada diskriminasi dalam rekrutmen tenaga kerja, seperti mensyaratkan usia tertentu atau penampilan menarik dalam lowongan kerja. “Melalui langkah ini, kami ingin memastikan bahwa dunia kerja di Indonesia menjadi tempat yang inklusif, kompetitif, dan menghargai martabat setiap individu,” kata Menteri Ketenagakerjaan Yassierli dalam siaran pers, Kamis (29/5/2025).
Kendati demikian, banyak pihak menilai bahwa SE tersebut belum cukup kuat untuk benar-benar menghilangkan praktik diskriminasi dalam sektor tenaga kerja. Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyu Askar, menilai bahwa status SE yang bukan regulasi mengikat menjadi kelemahan utama dalam implementasi kebijakan tersebut. “Karena sifatnya hanya surat edaran, maka tidak bersifat regulasi yang mengikat. Jadi betul sekali, ini kemudian dikembalikan lagi ke kebijakan internal masing-masing perusahaan,” ujar Media kepada Kompas.com, Jumat (30/5/2025).
Menurut Media, Indonesia memerlukan integrasi aturan ini ke dalam regulasi yang bersifat mandatory, seperti Peraturan Menteri, Peraturan Pemerintah (PP), atau bahkan revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan, agar lebih efektif dan memiliki kekuatan hukum yang jelas. Ia berpandangan, Indonesia dapat meniru pendekatan negara-negara lain dalam mengatasi diskriminasi berbasis usia. Contohnya, di Amerika Serikat dan Uni Eropa, regulasi terkait equal employment telah lama diterapkan dan memungkinkan pekerja untuk melaporkan praktik diskriminatif, termasuk batasan usia kerja tanpa alasan logis. “Lowongan kerja yang mensyaratkan umur tertentu tanpa justifikasi yang jelas bisa dianggap diskriminatif. Kalau ini bisa diselesaikan, kita tetap bisa menyerap pengangguran yang sudah punya pengalaman kerja,” kata Media. “Sistem seperti ini belum ada di kita. Padahal penting agar kita tahu sektor mana saja yang rawan diskriminasi dan bisa menemukan solusi tepat,” tambahnya.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK) Mirah Sumirat juga menekankan pentingnya sanksi bagi perusahaan yang tidak menaati perintah untuk menghilangkan diskriminasi dalam proses rekrutmen tenaga kerja. Oleh karena itu, Mirah menduga SE Menaker berpotensi diabaikan oleh perusahaan. “Cuma sayangnya SE itu tidak diiringi dengan sanksi. Ini yang kita lihat bahwa harusnya ada sanksi. Yang saya maksud bagaimana pemerintah memberikan pembinaan kepada perusahaan untuk mematuhi surat edaran yang dimaksud,” ujar Mirah, dikutip dari Kompas TV. Ia menyoroti bahwa saat ini banyak pekerja yang sulit mendapatkan pekerjaan akibat batasan usia, terutama mereka yang di-PHK di usia 30-40 tahun. "PHK massal di mana-mana yang di-PHK itu kan 30-40 tahun, usia-usia yang produktif. Mereka mau cari pekerjaan lagi itu sulit, karena ada pembatasan usia,” kata dia.
Direktur Eksekutif Migrant Watch Aznil Tan, menilai pemerintah tidak cukup hanya SE apabila benar-benar ingin serius memberantas diskriminasi terhadap para pekerja. Menurut Aznil, surat edaran terkait antidiskriminasi terhadap tenaga kerja juga tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat atau mengikat. “Itu tidak cukup dilakukan seperti itu. Surat edaran tidak mempunyai kekuatan hukum. Kalau pemerintah serius, kementerian tenaga kerja serius, harus mengeluarkan kepmen (keputusan menteri) secara berani,” kata Aznil. Ia menyebut SE hanya bersifat imbauan dan tidak ada sanksinya. “Tapi tidak cuma sekadar surat edaran, imbauan tidak mempunyai kekuatan hukum. Ini perlu gerakan yang komprehensif, yang holistik. Bukan sekadar lip service saja,” tuturnya. Aznil bahkan mengusulkan agar poin-poin antidiskriminasi tersebut bisa dimuat dalam undang-undang.
Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer pun mengamini bahwa SE tersebut masih lemah dan perlu diperkuat, salah satu opsinya adalah dijadikan peraturan menteri (Permen). Ia menjelaskan, SE ini diniatkan dari awal menjadi langkah pertama menuju peraturan yang lebih kuat. “Penerbitan Permen memerlukan harmonisasi. Untuk menerbitkan Permen, perlu ada SE dulu. SE ini adalah upaya perlindungan para pencari kerja,” kata Noel, sapaan akrabnya. Bahkan, Kemenaker tidak menutup kemungkinan ide di SE antidiskriminasi loker ini bakal dimasukkan ke Revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan yang tengah bergulir di parlemen. “Kalau seandainya mau lebih tinggi lagi, ya jadi undang-undang,” ujar Noel. Usul ini pun disambut positif oleh Komisi IX DPR yang membidangi masalah ketenagakerjaan. Anggota Komisi IX DPR Irma Suryani Chaniago setuju SE tersebut ditingkatkan menjadi Peraturan Menteri (Permen) agar kebijakan ini tidak hanya dianggap imbauan oleh pemberi kerja atau perusahaan. “Surat edaran ini tentu sangat baik dan bisa menjadi solusi bagi para pencari kerja. Tidak boleh ada like dislike. Tetapi akan lebih baik jika Kemenaker membuat Peraturan Menteri (Permen) sebelum UU Ketenagakerjaan yang baru dibuat,” ujar Irma. Hal senada diungkapkan oleh Anggota Komisi IX dari Fraksi PKB, Zainul Munasichin yang berharap kebijakan antidiskiminasi dapat dimuat dalam revisi UU Ketenagakerjaan. “Saya setuju dinaikkan levelnya. Nanti kita masukkan di revisi UU Ketenagakerjaan tahun ini,” kata Zainul.