Sampah Masih Campur Aduk, Edukasi Gagal atau Sistem yang Amburadul?
Tanggal: 8 Mei 2025 10:03 wib.
Tampang.com | Pemerintah kota telah mewajibkan pemilahan sampah sejak beberapa tahun lalu. Spanduk sosialisasi terpasang di TPS, iklan layanan masyarakat mengudara, dan edukasi dilakukan di sekolah. Tapi kenyataannya, sampah dari rumah-rumah masih dibuang secara campur aduk. Lalu, siapa yang salah?
Pemilahan Gagal di Hulu dan Hilir
Menurut data KLHK 2025, hanya sekitar 12% warga kota besar yang secara rutin memisahkan sampah organik dan anorganik. Lebih dari 70% TPS dan armada pengangkut pun belum dilengkapi sistem pemisah. Artinya, meski warga memilah, ujungnya tetap tercampur di tempat pembuangan.
“Saya sudah pisahkan sampah di rumah, tapi pas diangkut tetap dijadikan satu,” kata Linda, warga Bekasi.
Sistem Belum Mendukung, Warga Kehilangan Motivasi
Banyak warga merasa percuma memilah jika sistem pengelolaannya sendiri tidak berjalan. Di sisi lain, edukasi yang dilakukan pemerintah dinilai terlalu normatif, tidak kontekstual dengan kebiasaan lokal.
Menurut aktivis lingkungan dari Gerakan Bijak Sampah, Adi Ramadhan, “Edukasi harus disertai perubahan sistem. Kalau tidak, masyarakat akan terus apatis.”
Petugas Terbatas, Infrastruktur Minim
Petugas kebersihan juga menghadapi keterbatasan alat dan tenaga. Banyak yang mengaku belum mendapat pelatihan teknis soal penanganan sampah terpilah. Belum lagi kurangnya tempat sampah tiga warna di ruang publik yang konsisten tersedia.
Solusi Harus Menyentuh Kebiasaan Warga
Alih-alih hanya mengimbau, beberapa komunitas di Bandung dan Yogyakarta mulai menerapkan sistem reward berbasis volume sampah terpilah. Hasilnya lebih positif karena menggabungkan edukasi, insentif, dan partisipasi langsung masyarakat.
Perubahan Tidak Bisa Sepihak, Sistem dan Kesadaran Harus Jalan Bareng
Pemilahan sampah hanya akan efektif jika warga punya alasan kuat untuk melakukannya dan pemerintah menyediakan sistem yang bisa dipercaya. Tanpa itu, kita hanya akan berputar dalam kampanye tanpa hasil.