Sumber foto: Google

RUU Penyiaran Bikin Resah, Apa Konten Digital Kita Akan Dibungkam?

Tanggal: 13 Mei 2025 23:50 wib.
Tampang.com | Wacana revisi Undang-Undang Penyiaran kembali menghangat. RUU yang diajukan DPR ini memicu kontroversi lantaran memuat sejumlah pasal yang dinilai membatasi kebebasan berekspresi di dunia digital. Tak hanya media televisi dan radio, aturan tersebut berpotensi menjangkau platform seperti YouTube, TikTok, dan podcast.

Kreator dan Publik Angkat Suara: Ini Ancaman Nyata

RUU Penyiaran terbaru mencantumkan pasal yang memberi kewenangan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk mengawasi siaran berbasis internet. Ini berarti, konten kreator yang selama ini merasa lebih bebas dalam menyampaikan opini bisa saja dikenai sanksi, pembatasan, bahkan pemblokiran.

“Kalau RUU ini lolos, banyak konten kritis, edukatif, hingga satire bisa dianggap melanggar. Ruang digital akan dikekang,” ujar Andien Pratiwi, kreator konten edukasi sosial di YouTube.

Kekhawatiran muncul karena definisi “penyiaran” dalam RUU tersebut dinilai terlalu luas dan kabur. Tak ada batasan jelas mengenai konten yang dikategorikan sebagai siaran, dan hal ini membuka celah tafsir yang berbahaya.

Kebebasan Berekspresi atau Sensor Terselubung?

RUU ini dinilai bisa menabrak prinsip demokrasi digital yang telah berkembang di Indonesia. Beberapa pasal bahkan membuka kemungkinan kriminalisasi terhadap jurnalis independen atau podcaster yang mengkritik kebijakan publik.

“RUU Penyiaran ini memberi kesan bahwa pemerintah ingin kembali mengontrol ruang-ruang yang selama ini tumbuh secara organik,” kata Damar Juniarto, Direktur Eksekutif SAFEnet. “Alih-alih memperkuat ekosistem digital, ini malah bisa membuat orang takut berbicara.”

Dampaknya Bukan Hanya ke Kreator, Tapi ke Masyarakat Luas

Ketika ruang digital dibatasi secara berlebihan, yang paling dirugikan adalah masyarakat. Informasi alternatif yang selama ini mudah diakses bisa menghilang. Narasi tunggal berpotensi mendominasi, dan partisipasi publik dalam diskursus digital akan menurun.

RUU ini juga berisiko menghambat pertumbuhan ekonomi digital, karena pelaku usaha konten kecil dan menengah harus menghadapi ketidakpastian hukum.

Seruan Revisi: Fokus pada Perlindungan, Bukan Represi

Alih-alih memperluas kontrol terhadap konten, para pakar menyarankan agar regulasi difokuskan pada perlindungan konsumen, literasi digital, dan pengendalian hoaks tanpa mengorbankan kebebasan berekspresi.

“Regulasi itu perlu, tapi harus cerdas dan akomodatif terhadap perkembangan zaman,” ujar Damar. “Yang dibutuhkan masyarakat adalah perlindungan, bukan represi.”
Copyright © Tampang.com
All rights reserved