Rombongan Jalan-Jalan Disebut Rojali : Mengapa Anak Muda Betah ke Mall Tanpa Berbelanja?
Tanggal: 23 Jul 2025 08:46 wib.
Pusat perbelanjaan yang ramai di kota-kota besar sering kali menimbulkan anggapan bahwa segala transaksi belanja di dalamnya sedang berlangsung dengan baik. Namun, fenomena yang dikenal dengan istilah "Rojali," singkatan dari rombongan jarang beli, justru menunjukkan sebaliknya. Pengunjung datang dalam jumlah banyak, tetapi tak banyak yang dilakukan dalam hal berbelanja.
Fenomena ini telah menjadi tren di kalangan anak muda. Mereka sudah membuat kunjungan ke mall sebagai bagian dari kebiasaan sehari-hari dan menganggapnya sesuatu yang wajar. Meuthia Nafasya, seorang karyawan berusia 25 tahun dari Bogor, membagikan pandangannya. “Biasanya, saya hanya jalan-jalan, melihat barang-barang lucu untuk referensi, atau sekadar pergi makan,” ungkap Meuthia saat berinteraksi dengan Katadata.co.id.
Hal yang sama dirasakan oleh Karina Rahma, karyawan berumur 25 tahun yang tinggal di Jakarta Selatan. Ia mengakui bahwa tujuan kunjungan ke mall sering kali hanya untuk cuci mata, terutama di akhir bulan. “Kalau ada barang yang cocok, baru saya beli di awal bulan setelah gajian,” katanya. Karina merasa tidak ada masalah dengan fenomena ini, selama tidak mengganggu pegawai yang bekerja di sana.
Namun, berbeda dengan Amalia Nauvali, seorang ibu rumah tangga yang juga berprofesi sebagai guru, yang lebih sering pergi ke mall karena kebutuhan. “Tapi kadang-kadang juga saya pergi hanya untuk jalan-jalan, atau sekadar mencari pilihan makan,” ujarnya. Amalia menganggap Rojali sebagai sesuatu yang sah, apalagi jika pengunjung tetap membayar untuk parkir. “Kadang-kadang mereka bisa tergerak untuk membeli cemilan atau minuman,” imbuhnya.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai fenomena Rojali bukanlah hal baru. Walau demikian, keberadaan tren ini semakin kentara pasca-pandemi Covid-19. Menurut Bhima, kelas menengah di Indonesia kini semakin terjepit oleh biaya hidup yang terus melonjak, terutama inflasi yang mempengaruhi harga pangan, perumahan, dan suku bunga yang tinggi. Di kondisi seperti ini, mereka memilih untuk ke mall sebagai bentuk rekreasi, bukan belanja.
Bhima menambahkan, penghasilan kelas menengah semakin tergerus oleh cicilan dan inflasi, sehingga fokus mereka lebih kepada memenuhi kebutuhan dasar. Pusat perbelanjaan kini lebih banyak menawarkan barang-barang sekunder dan tersier, seperti produk fesyen dan barang mewah, yang kurang menarik bagi mereka. "Mall sekarang sering kali menjadi tempat untuk cuci mata," cetusnya.
Melihat apa yang terjadi, Bhima meyakini bahwa perubahan perilaku belanja ini juga didorong oleh kemudahan yang ditawarkan oleh toko online. "Kami tidak melihat tanda-tanda pemulihan dalam waktu dekat. Oleh karena itu, pusat perbelanjaan harus beradaptasi untuk bertahan," lanjut Bhima. Ia meyakini bahwa mal yang berfokus pada pengalaman kuliner dan rekreasi keluarga adalah yang paling mungkin untuk bertahan.
Prediksi Bhima menyatakan bahwa tren Rojali ini mungkin akan terus berlanjut hingga tahun 2026. Beliau mengingatkan bahwa kondisi perekonomian yang menghadapi tantangan seperti perang dagang, potensi PHK di sektor padat karya, dan daya beli yang semakin menurun akan mengurangi ruang belanja di kalangan kelas menengah.
Dalam analisisnya, Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA), David Sumual menyoroti bahwa fenomena Rojali menunjukkan sikap hati-hati dari kelas menengah dalam hal belanja. "Kini mereka lebih memilih untuk berinvestasi daripada sekadar melakukan konsumsi barang," katanya.
David menekankan pentingnya keadaan ini, karena jika tren Rojali berlanjut, dampaknya bisa langsung terasa pada pertumbuhan sektor konsumsi, yang menyumbang sekitar 60% dari perekonomian Indonesia. Masa depan pusat perbelanjaan di tengah perubahan perilaku belanja yang signifikan ini tentunya memerlukan perhatian khusus untuk beradaptasi dengan kondisi terkini.