Revisi UU Penyiaran Picu Polemik, Apakah Kreativitas dan Kebebasan Pers di Indonesia Terancam?
Tanggal: 9 Mei 2025 20:49 wib.
Tampang.com | Rancangan revisi Undang-Undang Penyiaran yang saat ini dibahas di DPR memicu polemik luas. Sejumlah pasal dalam draf revisi dinilai berpotensi membungkam kritik, membatasi kebebasan pers, serta mengekang kreativitas konten di ruang digital. Apakah Indonesia sedang melangkah mundur dalam hal demokrasi dan kebebasan berekspresi?
Pasal yang Memicu Kontroversi
Salah satu pasal yang paling disorot adalah larangan penayangan eksklusif jurnalisme investigatif dan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk mengawasi konten media daring seperti YouTube, podcast, dan siaran live streaming. Padahal, konten digital saat ini menjadi ruang alternatif bagi suara-suara yang tidak terakomodasi media arus utama.
“Kalau KPI diberi wewenang terlalu besar untuk menyensor konten digital, maka kebebasan berekspresi akan terancam,” kata Abdul Manan, mantan Ketua AJI Indonesia. Ia menilai revisi ini sebagai bentuk pengawasan yang berlebihan dan dapat menjadi alat pembungkaman.
Dampak pada Pers dan Konten Kreatif
Jurnalisme investigatif adalah tulang punggung demokrasi karena mampu mengungkap korupsi, pelanggaran HAM, hingga penyimpangan kekuasaan. Jika penayangannya dibatasi, maka publik kehilangan hak atas informasi yang faktual dan mendalam.
Sementara itu, pembuat konten digital juga khawatir dengan pasal multitafsir yang bisa membuat mereka dipidanakan karena dianggap menyebarkan informasi yang “berpotensi menimbulkan keresahan publik” — sebuah frasa yang kabur dan bisa disalahgunakan.
“Pasal-pasal ini bisa membuat kami was-was untuk berkarya, apalagi kalau aturan tidak jelas. Kreativitas bisa mati karena takut salah langkah,” ujar Wahyu, kreator podcast independen asal Yogyakarta.
Regulasi yang Tidak Mengikuti Perkembangan Zaman
Pakar hukum media dari Universitas Indonesia, Dr. Fitri Wahyuni, menyebut revisi ini belum cukup adaptif terhadap ekosistem media digital yang dinamis. Alih-alih mendukung inovasi, negara justru ingin kembali mengontrol narasi, seperti era pra-reformasi.
“Kita butuh regulasi, iya. Tapi yang mengikuti semangat zaman dan hak digital warga. Bukan yang justru mengekang,” tegasnya. Ia menyarankan agar DPR melibatkan lebih banyak pelaku media, akademisi, dan masyarakat sipil dalam proses penyusunan.
Respon Pemerintah dan DPR
Komisi I DPR mengklaim revisi UU ini bertujuan memperkuat tata kelola penyiaran nasional dan melindungi masyarakat dari hoaks serta konten negatif. Namun, transparansi dalam penyusunan draf masih jadi persoalan.
“Tidak bisa satu arah. Ini menyangkut hak-hak konstitusional warga negara,” ucap Fitri.
Peran Publik dalam Menjaga Kebebasan Informasi
Dalam era digital, kebebasan informasi dan ekspresi menjadi pondasi utama demokrasi. Jika masyarakat diam saat hak-haknya terancam, maka ruang-ruang kritik dan kreativitas akan terus menyempit.
Berbagai organisasi masyarakat sipil kini mendorong agar pembahasan RUU ini ditunda dan dibuka secara transparan. Petisi daring, diskusi publik, hingga aksi protes mulai ramai muncul, menunjukkan bahwa masyarakat tak tinggal diam.
“Demokrasi digital perlu dijaga. Negara harus melihat warga bukan sebagai objek pengawasan, tapi subjek berdaulat,” pungkas Manan.