Sumber foto: Google

Revisi KUHAP dan Aturan CCTV: Masih Banyak Celah yang Perlu Diperbaiki

Tanggal: 24 Mar 2025 09:29 wib.
Tampang.com | Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyoroti aturan mengenai kamera CCTV dalam revisi KUHAP yang dinilai masih belum menjawab berbagai permasalahan dalam sistem peradilan pidana.

Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menyebutkan bahwa Pasal 31 Ayat (2) RKUHAP belum mewajibkan seluruh pemeriksaan untuk direkam menggunakan kamera CCTV.


"Ketentuan ini memberikan celah besar bagi pelanggaran hak-hak tersangka atau terdakwa. Seharusnya aturan ini lebih tegas dalam melindungi mereka," ujar Isnur, Minggu (23/3/2025).


Berdasarkan draf revisi KUHAP, pemeriksaan hanya dapat direkam menggunakan kamera pengawas, bukan wajib direkam. Selain itu, aturan tersebut juga tidak mewajibkan pemasangan CCTV di tempat penahanan, yang berpotensi mengurangi transparansi dalam proses penahanan.

Rekaman CCTV Dikendalikan Penyidik, Kurang Transparan?

Permasalahan lain dalam Pasal 31 Ayat (3) RUU KUHAP adalah bahwa rekaman CCTV berada dalam penguasaan penyidik. Menurut Isnur, hal ini bertentangan dengan prinsip check and balance, karena rekaman tersebut seharusnya dikelola oleh lembaga independen agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang.


"Rekaman CCTV adalah bukti penting yang harus bisa diakses oleh penuntut umum maupun tersangka. Jangan sampai hanya penyidik yang memiliki kendali penuh tanpa pengawasan," tegasnya.


Selain itu, meskipun Pasal 31 Ayat (4) RUU KUHAP mengatur bahwa tersangka atau terdakwa dapat meminta rekaman CCTV untuk kepentingan persidangan, tidak ada mekanisme jelas mengenai bagaimana cara mengakses rekaman tersebut.

Perlindungan Hak Tersangka Masih Kurang

Koalisi sipil juga menilai bahwa RUU KUHAP tidak memiliki mekanisme jelas untuk mencegah penyiksaan atau kekerasan sejak awal penangkapan dan penahanan. Menurut Isnur, pengawasan terhadap proses penangkapan dan penahanan seharusnya dilakukan oleh lembaga independen dan imparsial, seperti pengadilan.


"Seharusnya ada aturan yang mewajibkan orang yang ditangkap segera dibawa ke hadapan hakim dalam waktu 48 jam untuk meninjau apakah penahanan tersebut sah atau tidak," ujarnya.


Selain itu, aturan terkait hak-hak kelompok rentan dalam Pasal 137-139 RUU KUHAP juga dinilai tidak memiliki mekanisme operasional yang jelas, sehingga dikhawatirkan hanya bersifat normatif tanpa implementasi yang efektif.

Revisi KUHAP Butuh Penguatan Pengawasan

Demi memastikan revisi KUHAP benar-benar membawa perbaikan dalam sistem peradilan pidana, koalisi masyarakat sipil menuntut agar:



Perekaman CCTV dalam pemeriksaan dan tempat penahanan dijadikan kewajiban, bukan sekadar opsi.


Rekaman CCTV harus dikelola oleh lembaga independen, bukan penyidik, untuk menjamin transparansi.


Hak tersangka dan terdakwa dalam mengakses rekaman harus diatur dengan mekanisme yang jelas.


Pencegahan penyiksaan dan kekerasan harus dilakukan secara sistemik, dengan pengawasan ketat dari lembaga independen.



Tanpa perbaikan dalam aturan ini, revisi KUHAP dikhawatirkan tidak akan mampu menyelesaikan permasalahan hukum yang ada dan justru tetap membuka celah bagi potensi penyalahgunaan kewenangan dalam sistem peradilan pidana.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved