Sumber foto: Google

Rangkap Jabatan Dirjen Pajak di Tengah Anjloknya Penerimaan Negara: Sebuah Ironi

Tanggal: 30 Mar 2025 12:14 wib.
Tampang.com | Penerimaan pajak yang merosot tajam di awal 2025 seharusnya menjadi perhatian serius bagi pemerintah. Namun, alih-alih menghadapi evaluasi, Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) Suryo Utomo justru mendapat tambahan jabatan baru sebagai Komisaris Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN). Kini, ia memegang tiga jabatan sekaligus: Dirjen Pajak, Komisaris PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) (SMI), dan Komisaris Utama BTN.

Penurunan Penerimaan Pajak yang Mengkhawatirkan

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, penerimaan pajak Januari-Februari 2025 anjlok hingga 30,1 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Hingga akhir Februari 2025, realisasi penerimaan pajak hanya Rp 187,8 triliun, jauh lebih rendah dibandingkan Rp 269,02 triliun pada 2024.

Penurunan tajam ini berkontribusi pada defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang mencapai Rp 31,2 triliun atau 0,13 persen dari PDB. Ini menjadi kinerja APBN terburuk dalam empat tahun terakhir, mengingat pada tiga tahun sebelumnya, APBN selalu mencatat surplus di awal tahun.

Salah satu penyebab utama jebloknya penerimaan pajak adalah implementasi Coretax, sistem administrasi perpajakan baru yang diluncurkan 1 Januari 2025. Sistem yang seharusnya mempermudah pembayaran pajak justru memicu kendala teknis yang menyulitkan para wajib pajak, sehingga setoran pajak melambat.

Rangkap Jabatan yang Menimbulkan Benturan Kepentingan

Suryo Utomo kini merangkap tiga jabatan strategis:
Dirjen Pajak yang bertugas mengoptimalkan penerimaan pajak.
Komisaris PT SMI, BUMN di bawah Kementerian Keuangan.
Komisaris Utama BTN, yang baru ditunjuk pada 26 Maret 2025.

Rangkap jabatan ini menimbulkan potensi konflik kepentingan. Sebagai Dirjen Pajak, ia bertugas memaksimalkan penerimaan pajak dari berbagai perusahaan, termasuk BTN dan PT SMI. Namun, sebagai komisaris di dua BUMN tersebut, ia memiliki tanggung jawab untuk meminimalkan pengeluaran perusahaan, termasuk pajak.

Melanggar UU BUMN No. 1/2025

Rangkap jabatan ini juga melanggar Pasal 27B UU No. 1/2025, yang melarang dewan komisaris BUMN untuk merangkap jabatan di:
BUMN lain, anak usaha BUMN, atau badan usaha milik daerah.
Jabatan lain yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Meskipun UU tidak secara spesifik melarang Dirjen Pajak merangkap sebagai komisaris BUMN, rangkap jabatan ini tetap bertentangan dengan prinsip tata kelola perusahaan yang baik, khususnya prinsip kemandirian yang mengharuskan pengelolaan BUMN bebas dari benturan kepentingan.

Dampak Negatif terhadap Kepercayaan Publik

Kebijakan ini bisa berdampak pada:
Turunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan.
Jatuhnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) karena investor khawatir dengan transparansi dan tata kelola keuangan negara.
Melemahnya nilai tukar rupiah, yang bisa memicu inflasi karena Indonesia masih bergantung pada impor bahan pangan dan energi.

Pilihan bagi Suryo Utomo: Fokus atau Mundur?

Untuk menghindari benturan kepentingan, ada dua pilihan bagi Suryo Utomo:
1 Tetap sebagai Dirjen Pajak dan mundur dari jabatan Komisaris BTN serta PT SMI.
2 Memilih tetap menjadi Komisaris di salah satu BUMN dan mengundurkan diri sebagai Dirjen Pajak.

Pemerintah seharusnya lebih berhati-hati dalam kebijakan rangkap jabatan ini, agar tidak mengorbankan kinerja penerimaan negara dan stabilitas ekonomi hanya demi kepentingan politik atau individu tertentu.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved