Ramai Isu Transisi Energi, Tapi Batu Bara Masih Jadi Raja?
Tanggal: 17 Mei 2025 14:46 wib.
Tampang.com | Pemerintah Indonesia kerap menyuarakan komitmen untuk melakukan transisi energi demi menghadapi krisis iklim. Namun, data konsumsi dan produksi energi nasional menunjukkan ironi: batu bara masih menjadi tulang punggung energi Indonesia, bahkan makin dominan.
PLTU Batu Bara Masih Mendominasi Pasokan Listrik
Hingga kini, lebih dari 60% listrik nasional masih disuplai dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara. Meski ada proyek energi terbarukan, kontribusinya masih di bawah 15%.
“Transisi energi kita masih lebih banyak wacana daripada aksi nyata,” ungkap Tunggul Prakoso, peneliti dari Institute for Clean Energy Policy.
Ekspor Batu Bara Tetap Jadi Andalan Devisa
Di sisi lain, batu bara juga tetap menjadi komoditas ekspor utama. Pemerintah bahkan menargetkan kenaikan ekspor ke negara-negara Asia, menunjukkan ketergantungan fiskal terhadap komoditas kotor ini masih tinggi.
“Selama APBN masih mengandalkan batu bara, sulit berharap ada komitmen transisi yang sungguh-sungguh,” jelas Tunggul.
Energi Terbarukan: Minim Insentif, Banyak Hambatan
Pengembangan energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, dan air terkendala berbagai hal, mulai dari perizinan yang rumit, investasi yang belum menarik, hingga regulasi yang lambat disesuaikan.
“Di atas kertas, roadmap transisi ada. Tapi di lapangan, investor justru kesulitan memulai,” tambah Tunggul.
Solusi: Subsidi Energi Bersih dan Penghapusan Bertahap PLTU
Para ahli mendesak agar subsidi energi dialihkan ke sektor terbarukan, dan PLTU dihentikan secara bertahap sesuai target penurunan emisi. Pemerintah juga harus tegas memberi kepastian hukum untuk transisi energi.
“Kalau batu bara terus dilanggengkan, kita hanya menunda krisis iklim yang dampaknya makin nyata,” tutup Tunggul.
Transisi Energi Bukan Gimmick, Tapi Tanggung Jawab Generasi
Indonesia tidak bisa terus berdiri di dua kaki: satu berbicara soal energi hijau, satu lagi bertumpu pada energi fosil. Masa depan energi yang berkelanjutan membutuhkan keberanian politik untuk berubah, bukan sekadar pencitraan.