Putusan MK soal Sekolah Swasta Gratis Disorot Golkar: Minta MK Cermati Realitas Anggaran dan Partisipasi Masyarakat
Tanggal: 29 Mei 2025 22:56 wib.
Jakarta, Tampang.com – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengamanatkan negara untuk menggratiskan biaya pendidikan jenjang SD-SMP, termasuk di sekolah swasta, menuai kritik dari Partai Golkar. Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Muhammad Sarmuji, menilai MK seharusnya mempertimbangkan realitas anggaran dan partisipasi masyarakat sebelum mengeluarkan putusan yang bersifat final dan mengikat tersebut.
"Kita mengimbau, kita meminta pada MK, sebelum memutuskan segala sesuatu, barangkali perlu untuk lebih banyak mencermati realitas-realitas yang ada," kata Sarmuji di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (28/5/2025). Ia khawatir keputusan MK yang dibacakan pada Selasa (27/5/2025) itu tidak bisa dipenuhi oleh pemerintah karena membutuhkan anggaran jumbo.
Kekhawatiran Beban Anggaran dan Partisipasi Ormas
Sarmuji tidak memungkiri bahwa putusan MK akan berdampak luas. Salah satu dampaknya adalah potensi mematikan partisipasi masyarakat maupun organisasi dalam dunia pendidikan, yang telah berjalan sejak sebelum masa kemerdekaan. Banyak organisasi masyarakat (ormas) seperti Muhammadiyah dengan amal usahanya, dan Nahdlatul Ulama (NU) dengan program serupa, telah aktif berkontribusi dalam pendidikan. Partisipasi ini terbukti efektif menciptakan sekolah-sekolah unggulan.
"Muhammadiyah, NU, punya lembaga pendidikan yang jumlahnya sangat banyak sekali. Itu kalau keputusan MK itu imperatif, dan negara mesti menyediakan uang yang sebegitu besar, saya khawatir, kita khawatir saja, keputusan MK itu sulit untuk dihasilkan oleh pemerintah," ucap Sarmuji.
Ia juga menyoroti bahwa absennya partisipasi masyarakat akan semakin menyulitkan pemerintah dalam melaksanakan putusan ini dengan anggaran pendidikan yang terbatas. "Yang menyulitkan dengan keputusan itu adalah alokasi anggaran pendidikan menjadi lebih rumit lagi untuk dipikirkan oleh pemerintah," ujar Sarmuji.
Sarmuji menambahkan, anggaran pendidikan memiliki cakupan yang sangat luas, mulai dari PAUD hingga perguruan tinggi. Jika putusan MK diinterpretasikan secara saklek, maka seluruh pembiayaan SD dan SMP, termasuk di sekolah swasta, akan ditanggung oleh pemerintah dan digratiskan. "Tentu saja itu sesuatu yang tidak mudah," tegasnya.
Dasar Putusan MK: Kesenjangan Akses dan Hak Asasi Manusia
Sebelumnya, MK mengabulkan sebagian gugatan terhadap Pasal 34 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), terutama frasa "wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya". Dengan demikian, MK memerintahkan negara untuk menggratiskan pendidikan jenjang SD-SMP.
Putusan ini, menurut MK, sejalan dengan standar hak asasi manusia (HAM) yang diakui secara internasional. "Oleh karena itu, hak atas pendidikan mencerminkan prinsip universalitas dan non-diskriminasi dalam pemenuhan hak asasi manusia, sebagaimana diatur dalam berbagai konvensi internasional, termasuk Pasal 26 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948," demikian tertulis dalam dokumen putusan nomor 3/PUU-XXII/2024.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK berpandangan bahwa frasa "wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya" dalam Pasal 34 Ayat (2) UU Sisdiknas yang hanya berlaku terhadap sekolah negeri, menimbulkan kesenjangan akses pendidikan dasar bagi peserta didik yang terpaksa bersekolah di sekolah dasar swasta akibat keterbatasan kuota di sekolah negeri.
"Sebagai ilustrasi, pada tahun ajaran 2023/2024, sekolah negeri di jenjang SD hanya mampu menampung sebanyak 970.145 siswa, sementara sekolah swasta menampung 173.265 siswa," ujar Hakim MK Enny Nurbaningsih saat membaca pertimbangan hukum.
Menurut MK, negara memiliki kewajiban untuk memastikan tidak adanya peserta didik yang terhambat dalam memperoleh pendidikan dasar hanya karena faktor ekonomi dan keterbatasan sarana pendidikan dasar. Oleh karenanya, frasa "tanpa memungut biaya" harus dimaknai berlaku untuk pendidikan dasar, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah (negeri) maupun masyarakat (swasta), sesuai dengan Pasal 31 Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
Enny menambahkan, salah satu aspek krusial dalam implementasi ketentuan tersebut adalah negara harus memastikan bahwa anggaran pendidikan benar-benar dialokasikan secara efektif dan adil, termasuk bagi kelompok masyarakat yang menghadapi keterbatasan akses terhadap sekolah negeri. Untuk menjamin hak atas pendidikan bagi seluruh warga, negara wajib menyediakan kebijakan afirmatif berupa subsidi atau bantuan biaya pendidikan bagi masyarakat yang bersekolah di sekolah swasta.
"Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas menurut Mahkamah, dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas frasa ‘wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya’ dalam norma Pasal 34 ayat (2) UU 20/2003, yang menurut para Pemohon menimbulkan multitafsir dan diskriminasi karena hanya berlaku untuk sekolah/madrasah negeri adalah beralasan menurut hukum," pungkas Enny.
Perdebatan mengenai putusan MK ini menyoroti kompleksitas dalam mewujudkan pendidikan dasar gratis bagi seluruh warga negara, dengan mempertimbangkan aspek anggaran dan peran serta masyarakat.