Sumber foto: Google

Putusan MK Pilkada Barito Utara: Alarm Bahaya Demokrasi Lokal

Tanggal: 1 Jun 2025 10:17 wib.
Jakarta, Tampang.com – Mahkamah Konstitusi (MK) telah meniup peluit peringatan keras terhadap bahaya demokrasi lokal dengan putusan progresifnya dalam sidang sengketa pemilihan kepala daerah Barito Utara, Kalimantan Tengah, tahun 2024. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, MK mendiskualifikasi kedua pasang calon kepala daerah karena terbukti secara meyakinkan menggunakan kekuatan uang untuk membeli suara. Kedua pasangan calon yang didiskualifikasi adalah Gogo Purman Jaya-Hendro Nakalelo yang diusung lima partai (PKB, PAN, PKS, PPP, Hanura) dan Ahmad Gunaldi Nadalsah-Sastra Jaya yang diusung PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, Demokrat.

"Praktik pembelian suara yang melibatkan kedua pasangan calon pada pemungutan ulang pemilihan kepala daerah Kabupaten Barito Utara diyakini kebenarannya," demikian pertimbangan MK. Berdasarkan rangkaian bukti dan fakta hukum persidangan, MK menemukan fakta adanya pembelian suara pemilih untuk memenangkan pasangan nomor urut 2 dengan nilai fantastis, mencapai Rp 16 juta untuk satu pemilih. Saksi Santi Parida Dewi bahkan menerangkan telah menerima total uang Rp 64 juta untuk satu keluarga. Di sisi lain, ditemukan pula kesaksian soal pembelian suara pemilih untuk memenangkan paslon nomor urut 1, dengan nilai Rp 6,5 juta untuk satu pemilih disertai janji umrah apabila menang, seperti kesaksian Edy Rakhman yang total menerima Rp 19.500.000 untuk satu keluarga.

Putusan MK yang bulat ini menandai sebuah langkah progresif. Akibatnya, Barito Utara, daerah kaya tambang batu bara, kini tidak memiliki pemimpin dengan legitimasi penuh. Komisi Pemilihan Umum (KPU) diperintahkan untuk menggelar Pilkada ulang dalam waktu 90 hari dengan pasangan calon baru. Tidak ada pemenang, yang tersisa hanya jejak demokrasi yang tercoreng oleh amplop dan transaksi.

Putusan MK ini adalah peluit keras yang meniupkan tanda bahaya: demokrasi lokal Indonesia sedang sakit, dan penyakitnya bernama politik uang yang dilegalkan secara sosial dan dibiarkan secara kelembagaan. MK telah memainkan peran konstitusionalnya untuk menjaga konstitusi, menjaga demokrasi, dan menjaga ideologi negara. Meskipun pernah terjerumus dalam "pembunuhan" demokrasi seperti kasus utak-atik syarat umur calon wapres dalam Pemilu 2024 yang sempat menurunkan kepercayaan publik, MK kini bangkit kembali. Dalam kasus Barito Utara, MK melampaui kebiasaannya, menjadi penjaga etika terakhir demokrasi, saat semua instrumen di bawahnya—dari partai politik, pengawas pemilu, hingga masyarakat sipil—gagal berfungsi.

Dalam pertimbangan putusannya, MK memaparkan bahwa praktik politik uang di Barito Utara terjadi secara sistemik, terstruktur, dan meluas. Nominal uang untuk satu suara yang mencapai Rp 6,5 juta hingga Rp 19,5 juta adalah angka yang mencengangkan dan melampaui harga suara di banyak daerah lain. Mahkamah menyebut bahwa demokrasi yang dijalankan dengan cara seperti itu bukanlah demokrasi, melainkan lelang jabatan publik.

Fenomena ini bukanlah hal baru. Dalam banyak literatur, termasuk karya Edward Aspinall dan Ward Berenschot (Democracy for Sale, 2019), politik uang dijelaskan sebagai bentuk dari demokrasi elektoral-klientelistik. Kekuasaan diperoleh bukan melalui ide, melainkan pertukaran uang dan janji proyek. Pemilih dilihat bukan sebagai warga negara, tetapi sebagai target distribusi material. Demokrasi elektoral di Indonesia tidak didominasi oleh ideologi atau kompetisi kebijakan, tetapi oleh praktik klientelisme dan patronase yang sangat sistemik—di mana suara rakyat ditukar dengan uang, jabatan, proyek, atau bantuan sosial, dan seluruh arsitektur Pemilu dipengaruhi oleh kemampuan kandidat untuk "membeli" dukungan melalui jaringan informal.

Situasi semacam ini adalah ladang subur bagi tumbuhnya tokoh politik lokal yang menggunakan kekayaan, jaringan, dan intimidasi untuk mempertahankan dominasi kekuasaan di tingkat daerah. Dalam konteks seperti ini, pemilu hanyalah formalitas legal untuk mengukuhkan siapa yang paling banyak mengeluarkan uang, bukan siapa yang paling layak memimpin.

Barito Utara: Kekayaan Alam, Politik Mahal Mengapa praktik politik uang bisa begitu ekstrem di Barito Utara? Sebab, kekuasaan di sana bukan hanya jabatan, tapi jalan menuju rente. Barito Utara adalah wilayah yang kaya batu bara, menjadi bagian dari jalur energi penting di Kalimantan Tengah. Perizinan tambang, kontrak pembangunan, distribusi dana bagi hasil, dan proyek APBD adalah insentif besar bagi siapa pun yang ingin berkuasa. Dengan penduduk sekitar 159.000 jiwa dan jumlah pemilih 114.980, lanskap ini menjadikan politik uang bukan kelainan, tapi mekanisme investasi kekuasaan. Calon kepala daerah mengeluarkan uang miliaran rupiah karena tahu ada potensi imbal hasil ekonomi yang jauh lebih besar. Demokrasi pun berubah menjadi pasar kuasa, di mana rakyat menjadi "konsumen politik" yang dibayar untuk diam dan memilih.

Yang lebih memprihatinkan, lembaga yang seharusnya menjadi benteng pertahanan demokrasi justru runtuh sebelum bertempur. Bawaslu gagal mendeteksi dan mencegah politik uang, bahkan ketika nilainya mencapai puluhan juta rupiah per pemilih. Partai politik mengusung calon tanpa memperhatikan rekam jejak atau integritas, asal bisa membayar "mahar politik". Masyarakat sipil lokal nyaris tak terdengar, dan media tidak menjadi penjaga moral publik. Dalam situasi semacam ini, Mahkamah Konstitusi berdiri sendirian di atas reruntuhan demokrasi prosedural, meniup peluit peringatan bahwa kita sudah jauh melenceng dari cita-cita pemilu sebagai instrumen kedaulatan rakyat.

Jangan Rampas Hak Rakyat Putusan MK dan Pilkada Barito Utara perlu dijadikan bahan refleksi semua pihak, yakni pemerintah pusat, KPU, Bawaslu, partai politik, dan masyarakat pemilih. Jangan sampai Pilkada Barito Utara dan putusan MK malah dijadikan alasan pembenar segelintir elite untuk mengembalikan pilkada ke DPRD. Bawaslu daerah haruslah ikut bertanggung jawab! Guna memberikan efek jera, pelaku pembelian suara selayaknya dijerat dengan tindak pidana pemilu. Diskualifikasi adalah sanksi politik. Aparat penegak hukum harus membawa pelaku pembelian suara ke ranah hukum. Tanpa pembelajaran hukum, praktik sejenis akan dengan mudah diduplikasi di daerah lain.

Lalu, bagaimana menafsirkan pesan dari MK? Jangan sampai putusan MK dijadikan alasan pembenar bahwa Pilkada mahal dan politik uang yang merajalela. Presiden Prabowo Subianto pernah mengungkapkan betapa mahalnya Pilkada langsung. DPR pernah merevisi UU Pilkada dengan mengembalikan Pilkada ke DPRD. Namun, putusan DPR itu ditolak sehingga Presiden saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono, menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang. Adanya pemikiran untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah (Pilkada) ke DPRD sebagai dampak atas putusan MK adalah arus mundur dan ancaman serius bagi proses konsolidasi demokrasi. Atas nama efisiensi, demokrasi menjadi kehilangan substansi. Atas nama harmoni, konsolidasi demokrasi akan mati suri.

Dalam perjalanannya, Pilkada langsung telah menghadirkan berbagai persoalan sebagaimana terjadi di Barito Utara. Yang kemudian dibutuhkan adalah penyempurnaan dan bukan pergantian sistem. Banyak opsi bisa dijalankan untuk mengurangi biaya politik pemilihan langsung. Banyak pula regulasi yang bisa diciptakan untuk memberantas politik uang dalam Pilkada.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved