Program Siswa Nakal Masuk Barak Militer Diusulkan Jadi Program Nasional
Tanggal: 8 Mei 2025 10:05 wib.
Tampang.com | Program kontroversial yang digagas oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yaitu pengiriman siswa dengan perilaku bermasalah ke barak militer, kini menuai tanggapan nasional. Bahkan, Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai, menyatakan bahwa jika program ini berhasil dalam tahap awal, tidak menutup kemungkinan akan diadopsi secara luas sebagai kebijakan nasional.
“Kalau uji coba pertama ini berjalan baik, kami akan dorong agar Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah mengeluarkan peraturan untuk implementasi nasional,” kata Natalius Pigai dalam pernyataan resminya pada Selasa (6/5/2025), sebagaimana dikutip dari Kompas.com.
Meningkatkan Kualitas Mental dan Karakter Pelajar
Pigai menyebutkan bahwa pendekatan ini bisa menjadi terobosan dalam membentuk karakter dan kedisiplinan generasi muda. Menurutnya, program barak militer mampu menanamkan nilai tanggung jawab, disiplin, hingga wawasan kebangsaan yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan global, khususnya menjelang periode emas 2025–2035.
“Visi kita ke depan adalah menjadi bangsa yang berdaya saing secara internasional, dan itu butuh generasi yang tangguh,” ujarnya.
Pengamat Pendidikan: Ini Perlakuan Khusus untuk Kasus Khusus
Satria Dharma, pengamat pendidikan sekaligus pendiri Ikatan Guru Indonesia (IGI), menyambut baik inisiatif tersebut. Ia melihat bahwa siswa yang dikirim ke barak militer adalah anak-anak dengan kondisi ekstrem, seperti kecanduan miras, gim daring, merokok, hingga terlibat tawuran atau geng motor, yang tidak lagi dapat ditangani oleh guru maupun orangtua.
“Ini kasus khusus yang butuh penanganan khusus,” jelasnya. Ia juga menegaskan bahwa siswa yang dikirim ke barak umumnya memiliki kesadaran ingin berubah, namun tidak mendapatkan dukungan lingkungan yang memadai di rumah maupun sekolah.
Materi Pendidikan di Barak Dinilai Lebih Komprehensif
Menurut Satria, para siswa tidak hanya diajarkan kedisiplinan, tetapi juga materi bela negara, pendidikan keagamaan, pengetahuan anti-narkoba, hingga keterampilan pertolongan pertama. Hal ini dianggap sebagai pengayaan yang sering kali tidak diberikan di lingkungan sekolah formal atau rumah.
Ia menyarankan pihak yang mengkritisi program ini untuk mengunjungi langsung lokasi barak agar bisa memberikan penilaian objektif dan konstruktif.
Bukan Hukuman, Tapi Pengakuan dan Harapan
Pengamat pendidikan lainnya, Ina Liem, turut mendukung pendekatan ini. Menurutnya, banyak anak yang dianggap “nakal” sebenarnya hanya kehilangan ruang untuk merasa sukses, baik di lingkungan sekolah maupun rumah.
“Ini bukan tentang menghukum, tapi memberikan mereka rasa pencapaian dan arah hidup,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa sistem pendidikan formal sering kali gagal membangun kompetensi non-akademik. Sementara itu, pendekatan seperti barak militer dapat membuka ruang bagi siswa-siswa ini untuk menemukan kembali jati dirinya.
Perlu Pengawasan dan Perlindungan Hak Anak
Meski mendukung, Ina menekankan pentingnya menjaga agar program ini tidak melanggar hak-hak anak. Ia menolak jika pendekatan militer dianggap sebagai solusi tunggal, apalagi jika mengarah pada kekerasan atau pelanggaran HAM.
“Penting untuk membangun narasi bahwa ini adalah bentuk intervensi harapan, bukan pembuangan,” tegasnya.
Kesimpulan: Saatnya Berpikir Kolaboratif, Bukan Sinis
Baik Satria Dharma maupun Ina Liem sepakat bahwa inisiatif ini memiliki potensi besar jika dijalankan dengan pendekatan yang tepat. Mereka mengajak publik untuk tidak terjebak pada sikap skeptis atau sinis, melainkan mulai bersikap kolaboratif demi menyelamatkan anak-anak yang sudah tidak tertangani oleh sistem pendidikan konvensional.