PPN RI Bakal Disamakan dengan Singapura, Ekonom Ingatkan Dampak ke Dunia Usaha
Tanggal: 26 Mei 2025 12:15 wib.
Rencana pemerintah Indonesia untuk menyesuaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan tarif yang berlaku di Singapura, yakni sebesar 9 persen, sedang menjadi perbincangan hangat di kalangan ekonom dan pelaku usaha. Wacana penurunan tarif PPN ini diungkapkan oleh Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo. Saat ini, tarif PPN yang berlaku di dalam negeri adalah 11 persen untuk barang nonmewah dan 12 persen untuk barang mewah.
Ekonom yang berasal dari Universitas Gadjah Mada, Eddy Junarsin, memberi perhatian khusus mengenai ini. Ia menekankan pentingnya adanya konsistensi dalam kebijakan perpajakan agar tidak menciptakan ketidakpastian di kalangan pelaku usaha. Menurut Eddy, perubahan tarif pajak yang terlalu cepat dapat menyebabkan kebingungan yang dapat berujung pada dampak negatif terhadap dunia usaha. “Efek dari penurunan PPN ini seharusnya diteliti secara ilmiah,” ungkapnya saat berbincang dengan kumparan, mengingat penyesuaian tarif ini baru saja terjadi.
Eddy juga menyarankan agar pemerintah memperbaiki struktur tarif Pajak Penghasilan (PPh) untuk individu, serta memberikan insentif pajak kepada perusahaan yang mampu menyerap banyak tenaga kerja, sebagai alternatif untuk memperkuat penerimaan pajak. Sebagai contoh, ia mengusulkan agar pemerintah memberikan tarif PPh korporasi sebesar 22 persen secara umum, dan menurunkannya menjadi 17 persen bagi korporasi yang mempekerjakan lebih dari 2.000 orang.
Di sisi lain, Bhima Yudhistira, seorang ekonom yang juga berposisi sebagai Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), menyambut baik rencana penurunan tarif PPN tersebut, namun dia menilai langkah ini harus sejalan dengan strategi yang lebih komprehensif. Bhima menyatakan bahwa penurunan tarif PPN dari 11 persen menjadi 9 persen berpotensi mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat, karena masyarakat akan cenderung membelanjakan lebih banyak uang untuk barang dan jasa.
Dia juga memberikan contoh dari beberapa negara, seperti Vietnam, Irlandia, dan Jerman, yang telah berhasil merangsang pemulihan ekonomi pasca-pandemi dengan menurunkan tarif PPN. Namun, penting bagi mereka untuk mengimbangi kebijakan tersebut dengan insentif fiskal, perbaikan dalam sistem birokrasi, dan pengetatan pengawasan.
Mengaitkan dengan hal tersebut, Bhima berpendapat bahwa meskipun tarif PPN diturunkan, peningkatan konsumsi masyarakat juga dapat diimbangi dengan peningkatan penerimaan dari Pajak Penghasilan (PPh) bagi badan usaha serta PPh 21 untuk karyawan. Ia memprediksi bahwa sektor industri pengolahan di dalam negeri akan menjadi sektor yang paling diuntungkan dari kebijakan ini. Namun, ia juga mengingatkan bahwa masih terdapat tantangan besar berupa kebocoran pajak, terutama di sektor sumber daya alam (SDA), yang mencakup pertambangan dan perkebunan.
Lebih jauh, Bhima mengajak pemerintah untuk memperlebar ambang batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari Rp 4,5 juta menjadi berkisar antara Rp 7-8 juta per bulan. Tindakan ini diharapkan memberikan kelas menengah lebih banyak ruang untuk berbelanja, yang pada gilirannya dapat mendorong perekonomian.
Hashim Djojohadikusumo, dalam kesempatan sebelumnya, menegaskan bahwa pemerintah tidak berniat untuk menaikkan tarif pajak, tetapi lebih kepada mencari cara untuk meningkatkan rasio penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang dinilai masih cukup rendah. Ia menegaskan bahwa pemerintah berfokus pada pengumpulan pajak dari lebih banyak individu yang selama ini belum berkontribusi, tanpa harus menaikkan tarif pajak yang ada.
“Target kami adalah untuk meningkatkan rasio pajak hingga setara dengan Kamboja atau Vietnam, dan ini dapat dicapai tanpa perlu menaikkan tarif pajak,” ujarnya saat berbicara di DBS Asian Insight Conference yang berlangsung di Hotel Mulia, Jakarta Selatan. Wacana ini tentunya membuka peluang bagi diskusi lebih lanjut mengenai bagaimana pemerintah dapat mengelola aspek perpajakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan dan inklusif.