PHRI Dorong Revisi Aturan Pembayaran Royalti Lagu dan Musik
Tanggal: 18 Agu 2025 08:42 wib.
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menilai ketentuan mengenai pembayaran royalti dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta masih menyimpan banyak kelemahan dan perlu direvisi agar lebih jelas. Ketua Umum PHRI Haryadi B. Sukamdani menegaskan bahwa aturan terkait pemutaran lagu dan musik, khususnya oleh pengelola hotel dan restoran, harus dijabarkan secara detail, baik dari segi prosedur, besaran royalti, hingga pihak-pihak yang wajib membayar.
Menurut Haryadi, posisi hukum Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dalam melakukan penagihan royalti kepada pihak yang memutar lagu atau musik perlu diperjelas. Ia menyoroti bahwa mekanisme penagihan saat ini kerap menimbulkan keberatan karena ada pelaku usaha yang merasa tidak memiliki hubungan dengan LMKN. Oleh karena itu, alur administrasi, besaran tarif, dan tujuan pembayaran harus diatur secara transparan dan tegas.
Haryadi juga menekankan pentingnya pengaturan yang jelas mengenai kategori lagu atau musik yang memerlukan lisensi dan pembayaran royalti. Lagu-lagu yang sudah menjadi domain publik, seperti “Indonesia Raya” dan lagu daerah, semestinya dapat digunakan bebas tanpa dikenakan biaya. Ia menambahkan, digitalisasi data lagu akan mempermudah pembagian antara karya domain publik dan karya yang masih dilindungi hak cipta.
Keluhan dari pengelola restoran dan kafe pun mencuat, terutama terkait kewajiban membayar Rp120 ribu per tahun untuk setiap kursi hanya untuk memutar lagu atau musik di tempat usaha mereka. Menurut Haryadi, kondisi ini terjadi karena pengelolaan royalti sepenuhnya diserahkan kepada LMKN tanpa pengawasan negara. Ia menegaskan perlunya keterlibatan pemerintah sebagai regulator bersama pencipta lagu dan pengguna karya musik dalam membentuk regulasi yang adil dan seimbang.
PHRI mengusulkan adanya kesepakatan tripartit antara musisi, pelaku usaha, dan pemerintah dalam menentukan kategori lagu yang dikenai royalti serta besaran pembayaran yang wajar. Haryadi juga menilai sanksi atas pelanggaran sebaiknya berbentuk sanksi hukum perdata, bukan pidana, untuk menghindari penafsiran yang berlebihan dan kriminalisasi terhadap pelaku usaha.
Selain revisi undang-undang, LMKN juga diharapkan membangun sistem informasi lagu dan musik yang selaras dengan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Dengan sistem yang jelas, transparan, dan berbasis teknologi, diharapkan pengelolaan royalti di Indonesia dapat lebih adil bagi semua pihak yang terlibat.