PHRI Bali Ungkap 4 Penyebab Okupansi Hotel Turun

Tanggal: 29 Mei 2025 19:07 wib.
Industri perhotelan di Bali tengah menghadapi berbagai tantangan yang mengkhawatirkan. Meskipun data statistik menunjukkan adanya peningkatan angka kunjungan wisatawan ke Pulau Dewata, tingkat hunian hotel justru mengalami penurunan yang signifikan. Hal ini menjadi sorotan penting bagi pelaku industri pariwisata, terutama bagi Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali.

Prof. Tjok Oka Artha Ardhana Sukawati, Ketua PHRI Bali, membagikan empat faktor utama yang menyebabkan penurunan tingkat okupansi hotel. Pertama, banyak wisatawan yang menjadikan Bali hanya sebagai lokasi transit. Alih-alih menginap di hotel-hotel Bali, mereka lebih memilih untuk meneruskan perjalanan ke destinasi lain seperti Gili Lombok, Labuhan Bajo, dan beberapa lokasi menarik di luar Bali. Fenomena ini menunjukkan bahwa Bali semakin sering dipandang sebagai hub, bukan tujuan utama.

Kedua, dengan adanya perbaikan di Pelabuhan Benoa, terdapat peningkatan jumlah kapal pesiar yang berlabuh di Bali. Meskipun kedatangan wisatawan melalui kapal pesiar ini tercatat secara signifikan, sayangnya banyak di antara mereka memilih untuk tetap menginap di kapal, sehingga tidak turut menyumbang pada meningkatnya okupansi hotel.

Ketiga, keberadaan vila-vila ilegal yang tumbuh pesat di Bali juga berdampak negatif terhadap hunian hotel. Banyak wisatawan yang lebih memilih untuk menginap di vila-vila ini yang sering kali menawarkan harga lebih terjangkau dibandingkan dengan hotel-hotel resmi. Terakhir, kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan oleh pemerintah pusat turut memperburuk kondisi ini. Keputusan tersebut berimbas pada sektor perhotelan di Bali yang sangat bergantung pada kegiatan seminar, konferensi, dan acara lain yang dikenal dengan istilah MICE (Meetings, Incentives, Conventions, and Exhibitions).

Salah satu kawasan yang paling terdampak oleh penurunan okupansi ini adalah Nusa Dua di Kabupaten Badung, di mana penurunan tingkat hunian dikabarkan mencapai antara 10 hingga 12 persen. Hal ini sangat berkaitan dengan seberapa banyak kegiatan MICE yang dapat diadakan di kawasan tersebut. Meski demikian, Prof. Tjok Oka juga mencatat bahwa kawasan lain seperti Sanur di Denpasar dan Ubud di Gianyar masih menunjukkan kestabilan dalam tingkat okupansi.

Sebelumnya, di Jakarta juga dilaporkan adanya penurunan serupa dalam industri perhotelan. PHRI Jakarta bahkan memperingatkan bahwa dampak dari penurunan ini bisa berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran. Namun, di Bali, beberapa pemilik usaha mulai memberikan pandangannya terkait isu PHK. Putu Ayu Astiti Saraswati, pemilik Toya Devasya Hot Spring, menegaskan bahwa hingga kini dirinya tidak melakukan PHK meskipun beberapa karyawan memilih untuk mengundurkan diri. Menurutnya, banyak pekerja Bali yang kini memilih untuk merantau ke luar negeri, termasuk bekerja di kapal pesiar.

Di sisi lain, pemilik hotel dan restoran di Denpasar, Bagus, juga menuturkan hal yang serupa. Dia menyatakan tidak melakukan PHK, melainkan terus melakukan rekrutmen untuk membuka lowongan baru. Menurut Bagus, perputaran ekonomi yang terjadi di kawasan domestik tetap memberikan harapan dan keberlanjutan bagi industri pariwisata di Bali. 

Dengan kondisi ini, sangat penting bagi pelaku industri pariwisata di Bali untuk mencari strategi dan solusi guna meningkatkan okupansi hotel serta memaksimalkan potensi kunjungan wisata yang ada.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved