PHK Massal 2025: Saat Industri Tekstil Lumpuh, Restoran Goyah, dan Teknologi Tak Lagi Jadi Tameng
Tanggal: 19 Jun 2025 10:14 wib.
Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kembali menghantam dunia kerja, termasuk Indonesia, dan kini datang dengan intensitas yang kian mengkhawatirkan. Sejak pandemi Covid-19 mengubah wajah perekonomian global, berbagai sektor belum benar-benar pulih. Kini, di awal 2025, bayang-bayang PHK semakin nyata dengan jutaan tenaga kerja yang terancam kehilangan penghasilan mereka.
Salah satu sektor paling terpukul adalah industri tekstil dan produk tekstil, yang selama ini dikenal sebagai salah satu tulang punggung perekonomian manufaktur Indonesia. Data terbaru menunjukkan bahwa sekitar 3 juta pekerja di industri ini berada dalam posisi rentan, menyusul penurunan utilitas dan produksi. Tak berhenti di situ, sekitar 70% pelaku usaha perhotelan dan restoran di Jakarta juga mempertimbangkan PHK massal sebagai langkah bertahan hidup di tengah kondisi yang tidak menentu.
Daya Beli Lemah, Produksi Menurun
Direktur Ekonomi Digital dari Center of Economics and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menjelaskan bahwa krisis ini dipicu oleh dua faktor utama: melemahnya daya beli masyarakat dan penurunan permintaan terhadap produk manufaktur. Dua aspek ini menjadi kombinasi yang cukup fatal bagi keberlangsungan industri.
"Permintaan terhadap barang-barang hasil manufaktur menurun drastis, dan hal ini langsung berdampak pada pengurangan skala produksi," ujar Nailul dalam wawancara bersama CNBC Indonesia.
Bukti empirisnya terlihat dari data Purchasing Managers' Index (PMI) Indonesia yang dikutip dari S&P. Pada Maret 2025, PMI Indonesia sempat berada di zona ekspansi dengan angka 52,4. Namun, angka ini anjlok ke 46,7 pada April dan sedikit naik ke 47,4 pada Mei. Perlu diketahui, angka di bawah 50 menandakan bahwa sektor manufaktur tengah mengalami kontraksi.
Industri Tekstil Terancam Kolaps
PMI yang turun bukan hanya angka statistik. Nailul memperingatkan bahwa ini merupakan sinyal serius dari menurunnya performa industri manufaktur. Tanpa adanya tambahan produksi, maka utilitas pabrik-pabrik tekstil bisa jatuh di bawah 50%, sebuah angka yang membahayakan kelangsungan usaha dan kesejahteraan pekerjanya.
“Kalau ini terus berlanjut, bukan hanya PHK, tetapi juga bisa menimbulkan keruntuhan sebagian sektor industri, terutama tekstil,” tambahnya.
Faktor Eksternal: Perang Tarif dan Daya Beli yang Memburuk
Selain masalah domestik, tekanan global turut memperburuk situasi. Perang tarif antara Amerika Serikat dan beberapa negara, termasuk Indonesia, telah menyebabkan penurunan permintaan ekspor secara signifikan. Ini berdampak langsung pada penurunan jumlah pesanan dari luar negeri, yang memaksa perusahaan lokal memangkas produksi, dan pada akhirnya mengurangi jumlah pekerja.
Di dalam negeri, masyarakat kelas menengah ke bawah masih kesulitan memenuhi kebutuhan pokok. Daya beli mereka belum benar-benar pulih sejak pandemi, yang membuat konsumsi dalam negeri tetap lesu. Akibatnya, permintaan terhadap produk lokal tidak mengalami peningkatan signifikan, dan ini menjadi tekanan tambahan bagi sektor manufaktur dan ritel.
AI dan Otomatisasi: Ancaman Tambahan di Sektor Jasa
Isu lain yang juga mulai mencuat adalah pengaruh kecerdasan buatan (AI) dan teknologi otomatisasi terhadap gelombang PHK. Meskipun masih menjadi perdebatan, ada sektor-sektor tertentu yang sudah mulai merasakan dampaknya.
Menurut Nailul, AI memang mulai menggantikan sebagian fungsi manusia, terutama di bidang jasa seperti perbankan dan keuangan. Namun, ia menegaskan bahwa dampak AI terhadap PHK belum sebesar isu daya beli dan perang tarif.
"AI memang punya pengaruh, tapi belum terlalu signifikan. Sektor yang paling terdampak tetap sektor jasa, bukan manufaktur," katanya.
Tidak Ada Pekerjaan yang Sepenuhnya Aman
Salah satu pernyataan paling mencemaskan dari Nailul adalah bahwa tidak ada satu pun pekerjaan yang benar-benar aman dari ancaman PHK. Bahkan sektor teknologi yang selama ini dianggap 'paling menjanjikan' pun telah mengalami PHK besar-besaran di beberapa perusahaan rintisan dan digital.
“Saya tidak melihat adanya keterampilan khusus yang bisa menjamin keamanan pekerjaan. Bahkan orang dengan kemampuan teknologi tinggi pun tak luput dari PHK,” tegasnya.
Kenyataan ini menggambarkan bahwa badai PHK kali ini sangat menyeluruh. Bukan hanya menyasar pekerja bergaji rendah atau sektor informal, tapi juga profesional di bidang teknologi dan keuangan.
Menuju Masa Depan Dunia Kerja yang Tidak Pasti
Dengan berbagai tekanan dari dalam dan luar negeri, dunia kerja di Indonesia — dan mungkin juga di negara lain — tengah menghadapi fase ketidakpastian yang belum pernah terjadi sebelumnya. Lonjakan PHK, menurunnya daya beli, minimnya permintaan, serta efek AI, semuanya menciptakan badai sempurna yang mengancam keberlangsungan ekonomi keluarga kelas menengah ke bawah.
Kondisi ini menjadi pengingat bahwa adaptasi, inovasi, dan diversifikasi keterampilan akan menjadi kunci utama untuk bertahan di masa depan. Namun, tanpa dukungan kebijakan dari pemerintah dan keberpihakan dari pelaku industri, jutaan pekerja bisa kehilangan harapan.