PHK Capai 24.000 hingga April 2025: Sinyal Awal Perlambatan Ekonomi?
Tanggal: 7 Mei 2025 06:00 wib.
Tampang.com | Pemerintah mengumumkan lonjakan pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia mencapai 24.036 orang sepanjang Januari–April 2025. Sementara pemerintah mencoba menenangkan publik, sejumlah ekonom justru memperingatkan bahwa kondisi ekonomi nasional tengah mengarah ke zona merah.
Angka PHK Meningkat, Jawa Tengah Paling Terdampak
Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menyebutkan bahwa jumlah PHK pada empat bulan pertama tahun ini telah melampaui sepertiga angka PHK sepanjang tahun 2024, yang tercatat sebanyak 77.965 orang. Tiga provinsi paling terdampak yakni Jawa Tengah (10.692 orang), DKI Jakarta (4.649 orang), dan Riau (3.546 orang).
"Ini menunjukkan tren peningkatan yang perlu diwaspadai," ujar Yassierli dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI.
Ekonom UGM: Data PHK Tak Menunjukkan Krisis Ekonomi
Menanggapi angka PHK tersebut, Ekonom Universitas Gadjah Mada, Eddy Jurnasin, mengatakan bahwa lonjakan PHK belum cukup untuk menyimpulkan adanya krisis ekonomi. Menurutnya, jumlah pekerja justru meningkat sebanyak 3,59 juta orang dibanding Februari 2024, dan tingkat pengangguran terbuka Februari 2025 hanya 4,76 persen, tidak jauh dari angka Amerika Serikat di 4,2 persen.
"Artinya, ekonomi belum dalam kondisi distressed secara statistik," kata Eddy. Ia pun menekankan pentingnya komunikasi publik dan dukungan pemerintah bagi mereka yang terkena dampak PHK.
Ekonom Paramadina: PHK Bisa Terus Berlanjut
Pandangan berbeda disampaikan Wijayanto Samirin, Ekonom Universitas Paramadina. Ia memperingatkan bahwa tren PHK kemungkinan besar akan terus berlanjut seiring belum pulihnya daya beli masyarakat dan perlambatan ekonomi nasional.
“Kondisi bisnis tidak kondusif. Banyak pengusaha menahan ekspansi dan justru mulai melakukan efisiensi, termasuk pengurangan tenaga kerja,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti kebijakan seperti kenaikan UMP yang dianggap tidak realistis, maraknya premanisme ormas, serta ketidakpastian regulasi, seperti penghapusan outsourcing dan TKDN, sebagai faktor yang membebani pelaku usaha.
Bhima Yudhistira: Data PHK Sebenarnya Jauh Lebih Tinggi
Lebih tajam lagi, Direktur Celios Bhima Yudhistira menyatakan bahwa angka resmi PHK dari pemerintah sangat underestimate. Menurutnya, banyak PHK yang tidak tercatat, terutama di sektor informal, outsourcing, dan kontrak kerja yang tidak diperpanjang.
“Angka riil bisa 3 sampai 4 kali lipat lebih tinggi,” katanya. Ia menilai bahwa masifnya PHK merupakan sinyal bahwa perekonomian Indonesia sedang memburuk, bahkan berpotensi masuk ke resesi teknikal pada kuartal kedua 2025.
Bhima juga menunjukkan bahwa impor bahan baku industri hanya tumbuh 2 persen pada kuartal pertama, bahkan mengalami penurunan pada Maret. Hal ini mengindikasikan bahwa banyak perusahaan sedang menahan produksi dan bersiap efisiensi besar-besaran.
Tantangan Serius bagi Pemerintah
Meski pemerintah belum menyatakan keadaan darurat ekonomi, data dan pandangan para ekonom menunjukkan bahwa tantangan ke depan sangat nyata. Pemerintah perlu bertindak cepat untuk:
Mendorong penciptaan lapangan kerja baru.
Menstabilkan iklim usaha dan daya beli masyarakat.
Menghindari pengambilan kebijakan yang kontra produktif bagi sektor riil.
Langkah-langkah ini menjadi krusial untuk mencegah situasi ekonomi yang lebih buruk di tengah ketidakpastian global dan tekanan domestik yang kian besar.
Apakah Indonesia siap menghadapi tantangan ini, atau justru memasuki babak baru perlambatan ekonomi? Waktu akan menjawab.