Sumber foto: Kompas.com

Penolakan Menguat, Ribuan Tengkorak Jadi Simbol Duka Aktivis terhadap Soeharto

Tanggal: 26 Mei 2025 12:01 wib.
Tampang.com | Suasana mencekam dan penuh refleksi menyelimuti sebuah hotel di Jakarta, Sabtu (24/5/2025), saat ribuan replika tengkorak disebar dalam ruangan diskusi publik yang digelar oleh ratusan aktivis 1998. Aksi simbolik ini dilakukan sebagai bentuk peringatan terhadap sejarah kelam masa Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto.

Diskusi tersebut diselenggarakan oleh kelompok aktivis yang tergabung dalam Repdem, Barikade ’98, Pen ’98, hingga FK ’98 dengan tema tegas dan provokatif: “Refleksi Reformasi 1998: Soeharto, Pahlawan atau Penjahat HAM?”

Menurut Jimmy Fajar Jim Jimbong, aktivis ’98 dari ISTN Jakarta, ribuan tengkorak yang disebar menjadi simbol kehilangan dan kekejaman yang terjadi selama rezim Orde Baru. Ia menyebutkan berbagai pelanggaran HAM berat, mulai dari kasus Marsinah, Wiji Thukul, hingga praktik penculikan dan pembunuhan misterius (Petrus) yang hingga kini masih menyisakan luka mendalam.


Penolakan Tegas Pemberian Gelar Pahlawan kepada Soeharto

Ketua panitia diskusi, Simson, menyampaikan bahwa acara ini sekaligus menjadi bentuk perlawanan terhadap wacana pemerintah yang ingin mengangkat Soeharto sebagai pahlawan nasional. Ia menegaskan, pemberian gelar tersebut merupakan bentuk pengkhianatan terhadap semangat reformasi yang diperjuangkan 27 tahun lalu.

“Publik harus tetap ingat, Soeharto bukan simbol pahlawan. Ia justru menjadi alasan utama lahirnya gerakan reformasi. Wacana menjadikannya pahlawan jelas sangat kita tolak,” ujar Simson tegas.


Komnas HAM: “Apakah Pantas?”

Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah, yang hadir dalam diskusi itu, mempertanyakan logika di balik rencana pemberian gelar tersebut. Menurutnya, keinginan sebagian pihak untuk menjadikan Soeharto sebagai pahlawan justru bertolak belakang dengan semangat konstitusi dan nilai-nilai keadilan.

“Apakah pantas seseorang yang memicu lahirnya reformasi justru diberi gelar pahlawan? Bukankah itu menghina sejarah dan luka rakyat?” ujar Anis kepada peserta diskusi.

Anis menambahkan, kepemimpinan Soeharto dipenuhi dengan otoritarianisme, penyimpangan konstitusi, dan pengabaian terhadap hak asasi manusia.


Ubedilah Badrun: "Bangsa Ini Sedang Mundur"

Dalam kesempatan yang sama, sosiolog dan aktivis ’98, Ubedilah Badrun, mengkritik keras wacana tersebut dan menilai Indonesia sedang mengalami kemunduran. Ia membandingkan laju ekonomi Indonesia dengan negara-negara tetangga yang jauh lebih pesat setelah periode reformasi.

“Korea Selatan sudah di atas 14.000 USD pendapatan per kapita, Malaysia juga. Kita? Masih tertinggal. Itu karena korupsi dan lemahnya penegakan hukum—warisan yang belum dibereskan sejak Orde Baru,” katanya.

Ubed juga menyoroti temuan PPATK yang menyebut sekitar 900 triliun rupiah dana negara diduga dikorupsi, menggambarkan betapa masih membekasnya jejak buruk sistem Orde Baru.


Soeharto, Tersangka Korupsi, Layakkah Jadi Pahlawan?

Ubed menutup pernyataannya dengan mengingatkan publik bahwa Soeharto bukan hanya tercatat dalam sejarah sebagai pelanggar HAM, tetapi juga pernah menjadi tersangka korupsi. “Putusan Mahkamah Agung menyebut negara rugi Rp 4,4 triliun akibat tindakannya. Bagaimana mungkin seseorang seperti itu disebut teladan bangsa?”


Kemensos: Keputusan Ada di Tangan Istana

Menanggapi kontroversi ini, Wakil Menteri Sosial Agus Jabo Priyono menjelaskan bahwa kewenangan akhir penetapan gelar pahlawan nasional berada di tangan Presiden. Kementerian Sosial hanya bertugas memproses dan mengusulkan nama-nama yang diajukan oleh masyarakat dan pemerintah daerah melalui Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP).

“Keputusannya tetap ada di Istana. Kami hanya mengusulkan nama-nama berdasarkan hasil kajian tim,” ujar Agus saat ditemui di Menteng, Jakarta Pusat.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved