Pengamat: LMKN Perlu Diperketat dan Dibekali Fungsi Pembinaan Hak Cipta
Tanggal: 1 Sep 2025 14:14 wib.
Revisi Undang-Undang Hak Cipta yang tengah dibahas DPR RI menjadi momentum penting untuk memperkuat peran Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Pengamat kebijakan publik Universitas Padjadjaran, Yogi Suprayogi, menilai fungsi LMKN tidak boleh hanya sebatas menarik dan mendistribusikan royalti musik, tetapi juga diperluas menjadi wadah pembinaan pelaku ekonomi kreatif terkait kesadaran hak cipta.
“Harus diperketat, tapi juga diberikan pembinaan. Bukan hanya ditarik royaltinya, tapi juga bagaimana pelaku ekraf itu dibuatkan hak ciptanya dan paham pentingnya perlindungan karya,” ujar Yogi di Jakarta, Jumat (29/8).
Menurutnya, salah satu masalah mendasar dalam industri kreatif Indonesia adalah rendahnya kesadaran pelaku terhadap pentingnya hak kekayaan intelektual (HKI). Banyak karya lahir, namun tidak diikuti dengan pendaftaran maupun perlindungan hukum yang memadai. Akibatnya, potensi ekonomi kreatif menjadi tidak maksimal dan rawan pembajakan.
Selain pembinaan, Yogi menekankan pentingnya transparansi dalam pengelolaan royalti oleh LMKN. Ia mendorong agar lembaga ini tidak hanya diaudit pemerintah dalam konteks perpajakan, tetapi juga diaudit secara independen oleh auditor khusus yang tidak berada di bawah pemerintah.
“Itu harus ada audit dari pemerintah ketika menyangkut pajak, tapi LMKN sendiri harus diaudit auditor independen agar kredibilitasnya terjaga,” katanya.
Langkah ini dinilai penting untuk membangun kepercayaan publik, terutama dari kalangan musisi dan pencipta lagu yang selama ini kerap mengkritisi transparansi distribusi royalti.
Yogi juga mengingatkan bahwa revisi Undang-Undang Hak Cipta tidak boleh hanya menyoroti musik sebagai subsektor utama, melainkan harus menjangkau seluruh sektor ekonomi kreatif. Mulai dari film, seni rupa, literasi, hingga karya digital, semua membutuhkan regulasi yang melindungi sekaligus membuka ruang pemanfaatan ekonomi dari hak cipta.
“Ekonomi kreatif itu salah satu kuncinya ya hak cipta. Selama ini baru musik yang naik ke permukaan, padahal subsektor lain juga sangat butuh perhatian. Jangan sampai UU ini hanya menyentuh sebagian kecil saja,” jelasnya.
Lebih jauh, Yogi menilai RUU Hak Cipta sebaiknya juga memperhatikan keterhubungan dengan sektor lain, termasuk dunia perbankan. Ia menyebutkan, hak cipta seharusnya bisa digunakan sebagai instrumen fidusia atau jaminan bagi pelaku kreatif untuk mendapatkan akses permodalan. Dengan begitu, hak cipta tidak sekadar berfungsi sebagai perlindungan hukum, tetapi juga memiliki nilai ekonomi yang nyata.
Sebelumnya, Komisi XIII DPR RI menargetkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Hak Cipta rampung pada 2025. Regulasi ini akan merevisi UU No. 28 Tahun 2014 dan diharapkan lebih komprehensif, bukan hanya soal mekanisme penarikan royalti. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual juga telah mengumpulkan aspirasi dari berbagai pemangku kepentingan untuk memperkaya isi revisi.
Dengan pembahasan ini, harapannya hak cipta di Indonesia bisa benar-benar menjadi fondasi bagi kemajuan industri kreatif, sekaligus meningkatkan daya saing pelaku seni dan budaya di level global.