Sumber foto: iStock

Penerimaan Bea Cukai Meningkat, Tapi Industri Rokok Mulai Tersendat? Ini Data Lengkapnya!

Tanggal: 13 Mei 2025 19:20 wib.
Pada kuartal pertama tahun 2025, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan mencatat pencapaian signifikan dari sektor kepabeanan dan cukai. Hingga akhir Maret, penerimaan negara dari sektor ini telah mencapai angka Rp301,6 triliun, mencerminkan sedikit peningkatan dari capaian tahun sebelumnya yang berada di kisaran Rp300,2 triliun. Namun di balik catatan positif tersebut, terdapat tren yang mulai menjadi sorotan: melemahnya penerimaan dari cukai hasil tembakau (CHT).

Rincian Penerimaan Negara dari Kepabeanan dan Cukai

Penerimaan negara yang berhasil dihimpun DJBC sepanjang kuartal pertama 2025 terdiri dari tiga komponen utama, yakni:



Cukai: Rp57,4 triliun


Bea masuk: Rp11,3 triliun


Bea keluar: Rp8,8 triliun



Dari ketiganya, cukai masih menjadi penyumbang terbesar. Namun, performa sektor ini — khususnya dari hasil tembakau — mulai memperlihatkan perlambatan.

Penyebab Penurunan Penerimaan dari Rokok

Menurut Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Askolani, penurunan penerimaan cukai hasil tembakau disebabkan oleh menurunnya produksi rokok nasional, terutama dari golongan 1 yang dikenakan tarif tertinggi.

Sepanjang kuartal pertama 2025, penerimaan dari cukai hasil tembakau tercatat sebesar Rp55,7 triliun. Untuk produksi rokok golongan 1, jumlah batang yang diproduksi mengalami penurunan drastis hingga 10,9%, yaitu menjadi sekitar 34,7 miliar batang. Produksi secara keseluruhan turun 4,2% dibandingkan kuartal pertama tahun lalu.

Penurunan produksi ini berkaitan erat dengan tingginya tarif cukai. Pemerintah sendiri telah menerapkan kebijakan kenaikan tarif CHT secara bertahap dalam beberapa tahun terakhir.

Tren Produksi dan Tarif Cukai dalam Tiga Tahun Terakhir

Untuk memahami dinamika industri ini, berikut ringkasan data tiga tahun terakhir:



Tahun 2022:



Produksi rokok: 323,9 miliar batang


Penerimaan CHT: Rp218,3 triliun


Kenaikan tarif: 12%




Tahun 2023:



Produksi rokok: 318,1 miliar batang


Penerimaan CHT: Rp213,5 triliun


Kenaikan tarif: 10%




Tahun 2024:



Produksi rokok: 317,4 miliar batang


Penerimaan CHT: Rp216,9 triliun


Kenaikan tarif: 10%





Dari data ini, terlihat bahwa kenaikan tarif tidak lagi menjamin kenaikan penerimaan, karena produksi rokok menurun cukup signifikan. Menurut Askolani, jika dulu tarif naik dan produksi tetap stabil, kini kenaikan tarif menunjukkan elastisitas yang tinggi, artinya setiap kenaikan justru menurunkan jumlah produksi secara langsung.

Fenomena Rokok Murah dan Maraknya Rokok Ilegal

Kondisi ini juga memunculkan fenomena rokok murah dan semakin maraknya peredaran rokok ilegal di pasar domestik. Menurut catatan DJBC, sepanjang kuartal pertama 2025 telah terjadi lebih dari 2.900 penindakan terhadap peredaran rokok ilegal, dengan total nilai mencapai sekitar Rp367 miliar.

Selain itu, 257 juta batang rokok ilegal berhasil diamankan. Rokok ilegal tersebut tidak hanya berasal dari produsen dalam negeri, tapi juga diselundupkan dari luar negeri. Hal ini menjadi tantangan baru bagi pemerintah, karena peningkatan tarif yang tidak diimbangi dengan pengawasan ketat justru membuka celah bagi peredaran rokok tanpa cukai resmi.

Kebijakan Cukai dan Tantangannya di Masa Depan

Kebijakan tarif cukai yang terus naik sebenarnya dirancang untuk mencapai dua tujuan utama:



Mengendalikan konsumsi produk tembakau, sejalan dengan kampanye kesehatan nasional.


Meningkatkan penerimaan negara untuk mendanai program pembangunan.



Namun realitasnya, peningkatan tarif tanpa penyesuaian strategi industri dan pengawasan justru dapat menurunkan efektivitas kebijakan tersebut. Tidak hanya berdampak pada penerimaan negara, penurunan produksi juga berpengaruh terhadap nasib para petani tembakau, pekerja pabrik rokok, dan ekosistem distribusi produk tembakau di Indonesia.

Apa Solusi Ke Depannya?

Jika tren penurunan produksi dan peningkatan rokok ilegal terus berlanjut, maka ke depan pemerintah perlu meninjau ulang strategi penetapan tarif cukai agar tetap efektif dan berkelanjutan. Di sisi lain, pengawasan terhadap peredaran rokok ilegal juga harus diperkuat, termasuk memperkuat kerja sama lintas sektor antara Bea Cukai, aparat hukum, dan pelaku industri.

Kebijakan cukai bukan hanya soal angka di APBN, tetapi juga mencerminkan keseimbangan antara kesehatan publik, keberlangsungan industri, dan stabilitas penerimaan negara. Oleh karena itu, keputusan yang diambil harus berbasis data, inklusif, dan adaptif terhadap perubahan perilaku masyarakat serta dinamika industri rokok.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved