Sumber foto: Google

Pemerintah Indonesia Berusaha Memperkecil Saham China di Proyek Smelter Nikel Baru

Tanggal: 5 Agu 2024 10:40 wib.
Pemerintah Indonesia sedang dalam upaya untuk mengurangi porsi kepemilikan saham perusahaan China di proyek-proyek smelter nikel baru. Menurut laporan Bloomberg pada Jumat (26/7/2024), tindakan tersebut dilakukan untuk mendorong industri pengolahan bijih nikel domestik agar bisa memperoleh akses subsidi dalam rantai pasok kendaraan listrik dari pemerintah Amerika Serikat (AS).

Sebuah sumber yang dikutip dari Bloomberg mengatakan, "Pemerintah telah berdiskusi dengan beberapa investor untuk membangun smelter baru di mana perusahaan China akan memiliki saham kurang dari 25%." Langkah ini diambil dalam rangka mendorong investasi dalam industri smelter nikel serta untuk memastikan bahwa perusahaan-perusahaan China tidak mendominasi kepemilikan saham.

Terkait hal ini, Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto menyatakan bahwa pemerintah tidak campur tangan dalam keputusan bisnis masing-masing perusahaan untuk mengurangi porsi saham perusahaan China dalam proyek smelter nikel di dalam negeri. Seto menegaskan, "Semua proyek disepakati secara business to business antara para pemegang saham, termasuk keputusan komposisi pemegang saham Tiongkok menjadi minoritas."

Sementara itu, pemerintah Indonesia masih terus melakukan pembicaraan untuk mendapatkan akses terhadap kredit pajak konsumen atau consumer tax credit yang termasuk dalam struktur insentif kendaraan listrik Inflation Reduction Act (IRA) Amerika Serikat (AS) hingga saat ini. IRA sendiri memperketat kriteria mineral logam yang dapat menerima insentif kendaraan listrik yang dialokasikan pemerintah AS setelah tahun 2023. Undang-undang tersebut menghimpun dana subsidi sebesar US$370 miliar untuk pengembangan teknologi bersih. Beberapa kriteria untuk mendapatkan insentif tersebut antara lain adalah proses pengolahan mineral logam dilakukan di Amerika Serikat dan bahan baku yang digunakan berasal dari negara-negara yang memiliki perjanjian perdagangan bebas (FTA) dengan pemerintah AS.

Mengenai hal ini, China menjadi entitas asing yang harus diperhatikan untuk tidak mendapat fasilitas IRA dalam proyek investasi pengolahan mineral. Sebelumnya, Wakil Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Bidang Pertumbuhan Ekonomi, Energi, dan Lingkungan, Jose W. Fernandez menegaskan bahwa terdapat potensi besar dalam kerjasama mineral kritis dengan Indonesia. Dia menyatakan bahwa diskusi mengenai perjanjian mineral kritis sedang berlangsung, tanpa memberikan rincian lebih lanjut mengenai timeline.

Wakil Menteri Luar Negeri AS tersebut menekankan bahwa pihaknya berupaya untuk mencapai perjanjian mineral kritis yang memungkinkan lebih banyak perusahaan dari Amerika Serikat dan negara lain untuk berinvestasi di industri mineral kritis di Indonesia. Dia juga mengungkapkan bahwa pihaknya telah berbicara dengan pemerintah Indonesia mengenai kemitraan keamanan mineral (mineral security partnership), yang melibatkan 14 negara serta Uni Eropa yang mencakup lebih dari 55% Produk Domestik Bruto (PDB) dunia. Negara-negara tersebut termasuk India, Australia, Jepang, AS, dan lainnya.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved