Pemerintah akan Merevisi Standar Kemiskinan Nasional

Tanggal: 13 Jun 2025 11:58 wib.
Anggota Dewan Ekonomi Nasional, Arief Anshory Yusuf, mengungkapkan bahwa saat ini sedang berlangsung proses revisi garis kemiskinan nasional. Sejak tahun 1998, Badan Pusat Statistik (BPS) masih menggunakan metode penghitungan kemiskinan yang tidak mengalami perubahan. Arief juga menjelaskan bahwa kajian untuk menyusun metodologi baru ini telah dilakukan selama beberapa bulan terakhir. 

"Selama enam bulan terakhir, saya bekerja sama dengan tim di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), juga dengan mitra di Bank Dunia, serta berkomunikasi dengan BPS untuk dapat segera merevisi. Proses ini sudah mulai berjalan," ucap Arief dalam wawancaranya dengan Tempo pada tanggal 8 Juni 2025.

Ditegaskannya, penyelesaian revisi ini sangat penting untuk dilakukan secepatnya, mengingat garis kemiskinan di Indonesia semakin mendekati batas kemiskinan ekstrem yang ditetapkan oleh Bank Dunia. Yang lebih mencengangkan, Indonesia yang tergolong dalam negara berpendapatan menengah ke atas atau upper-middle income, seharusnya dapat memberikan perhatian serius terhadap masalah ini.

Dalam konteks global, Bank Dunia baru saja memperbarui garis kemiskinan internasional dari yang sebelumnya sebesar US$ 2,15 per kapita per hari menjadi US$ 3,00 per kapita per hari. Selain itu, garis kemiskinan untuk negara-negara berpendapatan menengah ke bawah juga direvisi dari US$ 3,65 menjadi US$ 4,20. Untuk negara dengan pendapatan menengah ke atas, batas kemiskinan yang ditetapkan berubah dari US$ 6,85 menjadi US$ 8,30. Salah satu faktor yang mendorong perubahan ini adalah kenaikan garis kemiskinan nasional di 16 negara yang berpendapatan rendah.

Berbeda dengan metode yang diterapkan oleh BPS, Bank Dunia menerapkan pendekatan paritas daya beli atau purchasing power parity (PPP), yang merupakan metode konversi untuk menyesuaikan daya beli antarnegara. Dalam revisi ini, Bank Dunia telah mengadopsi PPP 2021, sementara sebelumnya menggunakan PPP 2017. Arief merekomendasikan bahwa jika dihitung berdasarkan PPP terkini, batas kemiskinan internasional diperkirakan sekitar Rp 545 ribu per orang per bulan. Sebaliknya, garis kemiskinan Indonesia saat ini berada pada angka sekitar Rp 595 ribu per orang per bulan. Ia berpendapat seharusnya garis kemiskinan nasional dapat berada di rentang antara Rp 750 ribu hingga Rp 1,5 juta, jika mengacu pada kategori negara berpendapatan menengah ke bawah dan menengah ke atas.

Apabila menggunakan garis kemiskinan terbaru untuk negara dengan pendapatan menengah ke atas, data menunjukkan bahwa pada tahun 2024, sekitar 68,25 persen dari populasi Indonesia atau setara dengan 193,49 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan. Jika kita menggunakan garis kemiskinan internasional, jumlah penduduk yang hidup di bawah garis tersebut mencapai 15,42 juta orang, yang setara dengan 5,5 persen dari total populasi.

Data yang dilaporkan oleh BPS mencatat bahwa tingkat kemiskinan Indonesia per September 2024 berada di angka 8,57 persen, atau sekitar 24,06 juta jiwa. BPS menggunakan metode cost of basic needs, yaitu memperhitungkan jumlah rupiah minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk. 

Arief, yang juga merupakan ekonom dari Universitas Padjadjaran, menekankan pentingnya pembaruan garis kemiskinan nasional. Ia menyatakan bahwa jika tidak segera diperbarui, hal ini dapat berdampak serius terhadap kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah. "Jika kebijakan ekonomi kita dipandu oleh informasi yang tidak akurat, bahwa kemiskinan kita sudah rendah, maka kebijakan-kebijakan yang diambil tidak akan efektif," ungkapnya. Selain itu, data yang tidak mencerminkan kondisi riil dapat membuat masyarakat merasa terpinggirkan, karena tidak mencerminkan kenyataan yang mereka rasakan dalam kehidupan sehari-hari.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved