Sumber foto: Google

Pedagang Terkejut, Lahan Usaha di Tangsel Ternyata Milik BMKG, Bukan Ormas

Tanggal: 26 Mei 2025 11:59 wib.
Tampang.com | Sejumlah pedagang di kawasan Pondok Betung, Tangerang Selatan, terpaksa menelan kenyataan pahit. Tempat mereka membuka usaha selama berbulan-bulan ternyata merupakan lahan milik negara yang dikuasai Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), bukan milik pribadi seperti yang selama ini mereka yakini.

Selama ini, para pedagang merasa aman karena membayar sewa kepada orang-orang yang mengaku sebagai bagian dari organisasi masyarakat Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya. Salah satunya adalah Darmaji, pemilik warung seafood yang telah membuka usahanya sejak Januari 2025.


Sewa ke Ormas, Tak Tahu Lahan Milik Negara

Darmaji menceritakan bahwa ia mendapat tawaran lapak dari ketua RT setempat. Tanpa curiga, ia menyewa tempat tersebut dengan sistem bulanan seharga Rp 3,5 juta. Uang sewa tersebut, menurutnya, dikirim ke seseorang bernama Yani, yang disebut sebagai Ketua DPC GRIB Jaya Tangerang Selatan.


“Saya sudah bayar dari Januari sampai Mei. Totalnya Rp 17,5 juta. Belakangan baru tahu kalau lahan ini milik BMKG, itu pun setelah polisi datang,” ujar Darmaji, Sabtu (25/5/2025), ketika ditemui bersama Kapolres Tangsel AKBP Victor Inkiriwang.


Lebih mencengangkan lagi, Darmaji mengaku sudah menghabiskan dana sekitar Rp 70 juta untuk membangun fasilitas seperti atap, lantai, dan instalasi listrik di lapaknya.


Pedagang Sapi Kurban Juga Tertipu Janji Manis

Pengalaman serupa dialami Ina Wahyuningsih, seorang pedagang sapi kurban yang saat ini menampung lebih dari 200 ekor sapi di lahan yang sama. Ina awalnya mencari tempat usaha baru setelah lokasi sebelumnya berubah fungsi. Ia kemudian bertemu dua orang yang mengaku dari GRIB Jaya, yakni Keke dan Jamal.


“Mereka bilang lahan itu milik ahli waris, dan kami diarahkan untuk bicara langsung ke Ketua Yani,” ujar Ina.


Dalam proses negosiasi, Yani meminta uang sewa sebesar Rp 25 juta, yang disebutnya sudah mencakup “perizinan” dan koordinasi dengan aparat setempat. Setelah tawar-menawar, akhirnya disepakati Rp 22 juta yang dibayar secara bertahap oleh Ina. Bahkan sempat diminta tambahan Rp 5 juta untuk alasan internal organisasi.


“Saya pikir ini resmi karena mereka bilang sudah ada koordinasi dengan RT, RW, dan lurah. Saya percaya saja,” kata Ina.



BMKG Tegaskan Status Aset Negara

Kenyataan bahwa lahan tersebut merupakan aset resmi milik BMKG membuat para pedagang terkejut. BMKG menegaskan bahwa lahan tersebut harus dikosongkan karena merupakan fasilitas negara yang tidak boleh disewakan secara ilegal.

Sebagai bentuk toleransi, pihak BMKG memberi kelonggaran kepada Ina untuk tetap berjualan hingga 8 Juni 2025, bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha. Namun untuk pedagang lain seperti Darmaji, diminta untuk segera membongkar bangunannya.


Harap Ada Solusi Bijak

Baik Darmaji maupun Ina berharap ada jalan keluar yang manusiawi. Mereka mengaku tidak bermaksud melanggar aturan, namun terjebak karena ketidaktahuan dan kepercayaan terhadap pihak yang ternyata tidak berwenang.


“Kalau memang harus pindah, kami ikut saja. Tapi kami mohon ada waktu dan bantuan, karena ini melibatkan hewan hidup dan biaya besar,” kata Ina penuh harap.



Kisah ini menjadi pengingat bahwa ketelitian dalam memastikan status hukum lahan sangat penting, terutama dalam konteks usaha. Ketika janji-janji manis bertemu dengan minimnya informasi, kerugian besar bisa menimpa mereka yang hanya ingin mencari nafkah dengan jujur.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved