Pajak Rokok Naik Lagi 2025, Siapa yang Paling Terdampak?
Tanggal: 10 Mei 2025 11:46 wib.
Tampang.com | Mulai Januari 2025, pemerintah resmi menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) rata-rata sebesar 10%. Kenaikan ini menjadi yang ketiga dalam tiga tahun terakhir. Langkah ini dinilai sebagai strategi fiskal sekaligus bagian dari upaya pengendalian konsumsi rokok nasional. Namun di balik kebijakan tersebut, muncul pertanyaan: siapa yang paling terdampak?
Harga Rokok Naik, Konsumen Kecil yang Terpukul
Dengan kebijakan ini, harga eceran sebungkus rokok diprediksi naik Rp3.000 hingga Rp5.000 tergantung jenis dan merek. Bagi perokok aktif, khususnya dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, kenaikan ini cukup signifikan.
“Saya biasanya beli dua bungkus sehari. Sekarang harus pilih antara kurangi rokok atau kurangi makan,” ujar Budi, buruh harian di Semarang.
Kenaikan harga ini diharapkan pemerintah dapat menekan angka konsumsi, terutama di kalangan remaja dan masyarakat miskin. Namun kenyataannya, banyak konsumen tetap memilih berhemat di aspek lain ketimbang berhenti merokok.
Industri Rokok Tertekan, Tapi Masih Bertahan
Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) menyatakan bahwa kenaikan cukai akan memukul produsen kecil dan menengah. Mereka khawatir penurunan penjualan bisa mengancam keberlangsungan usaha dan memicu gelombang PHK.
“Industri padat karya seperti rokok kretek manual rentan goyah dengan tekanan bertubi-tubi ini,” kata Arief Gumelar, pengamat industri tembakau dari Lembaga Ekonomi Nusantara.
Meskipun industri besar masih bisa bertahan berkat efisiensi dan diversifikasi produk, pabrik-pabrik kecil di daerah terancam gulung tikar.
Penerimaan Negara Naik, Tapi Risiko Sosial Mengintai
Kementerian Keuangan memproyeksikan penerimaan dari cukai rokok tahun ini bisa mencapai Rp245 triliun, naik sekitar 7% dari tahun sebelumnya. Namun sebagian pihak mengingatkan bahwa peningkatan pendapatan fiskal harus diimbangi dengan tanggung jawab sosial.
“Kalau penerimaan naik tapi dampaknya PHK dan daya beli turun, artinya kebijakan ini belum berpihak ke keadilan ekonomi,” tegas Eni Rohani, ekonom dari INDEF.
Masalah Kesehatan atau Masalah Ekonomi?
Alasan utama kenaikan cukai rokok adalah demi menurunkan prevalensi merokok dan beban BPJS akibat penyakit terkait tembakau. Tapi di sisi lain, sektor ini menyerap lebih dari 5 juta tenaga kerja langsung dan tidak langsung.
Kebijakan ini pun menjadi dilema: antara menyelamatkan kesehatan publik atau mempertaruhkan kesejahteraan ekonomi jutaan orang.
“Jika ingin benar-benar mengurangi rokok, harus ada solusi transisi pekerjaan, edukasi, dan pengalihan konsumsi yang sistematis. Bukan sekadar menaikkan cukai tiap tahun,” ujar Arief.
Langkah Lanjutan Harus Menyentuh Akar Masalah
Pengamat menilai bahwa pendekatan fiskal saja tidak cukup. Perlu pendekatan sosial, edukatif, dan alternatif usaha bagi petani tembakau dan pekerja industri.
“Pemerintah jangan hanya melihat dari sisi pendapatan. Harus ada roadmap transformasi ekonomi dari sektor tembakau ke sektor yang lebih sehat dan berkelanjutan,” tambah Eni.