Pajak Hiburan Naik Hingga 75%, Siapa yang Benar-Benar Dirugikan?
Tanggal: 10 Mei 2025 17:33 wib.
Tampang.com | Mulai awal Mei 2025, sejumlah pemerintah daerah resmi menerapkan tarif pajak hiburan baru sebesar 40 hingga 75 persen. Kenaikan ini sesuai dengan amanat UU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD) yang mulai diimplementasikan secara bertahap. Namun, langkah ini memicu kekhawatiran dari pelaku usaha hingga masyarakat umum.
Tiket Bioskop dan Karaoke Jadi Mewah
Di beberapa kota seperti Bandung dan Medan, harga tiket bioskop dan karaoke naik drastis akibat pajak baru. Konsumen mengeluh karena hiburan yang semula terjangkau kini menjadi barang mahal.
“Sebelumnya nonton bioskop cukup Rp35.000, sekarang bisa tembus Rp60.000. Ini bukan lagi hiburan rakyat,” kata Nia, mahasiswa di Medan.
Pelaku Usaha Merasa Terjepit
Pengusaha tempat hiburan menyatakan mereka berada dalam posisi sulit. Jika harga tidak dinaikkan, mereka merugi. Jika dinaikkan, pelanggan kabur.
“Kami mendukung pajak untuk pembangunan, tapi ini tidak realistis. Beban terlalu berat bagi pelaku usaha yang baru bangkit pasca pandemi,” ujar Denny Wijaya, pemilik usaha karaoke di Jakarta.
Pemerintah Daerah Terjepit di Tengah
Sejumlah kepala daerah mengakui bahwa mereka tidak nyaman dengan aturan ini, tapi tidak punya banyak ruang gerak karena kebijakan ditetapkan pusat.
“Kalau tidak diimplementasikan, daerah bisa dianggap melanggar UU. Tapi di sisi lain, kami juga tahu ini memberatkan masyarakat,” ujar seorang pejabat dari Pemprov Jawa Barat.
Penerimaan Daerah Naik, Ekonomi Lokal Menurun?
Pemerintah pusat menyebut pajak hiburan sebagai salah satu sumber pendapatan daerah yang potensial. Namun, banyak ekonom mengingatkan bahwa peningkatan penerimaan belum tentu berarti perbaikan ekonomi.
“Kalau daya beli masyarakat menurun, omzet pelaku usaha turun, maka penerimaan juga akan stagnan. Harus dihitung efek jangka panjangnya,” jelas Bhima Yudhistira, Direktur CELIOS.
Solusi: Skema Bertahap dan Kategori Khusus
Beberapa pakar menyarankan agar pemerintah menerapkan skema bertahap dan membedakan kategori hiburan, agar tidak menyamaratakan semua jenis hiburan dengan pajak tinggi.
“Harus ada klasifikasi. Hiburan rakyat seperti taman bermain keluarga tidak bisa disamakan dengan klub malam elit,” tegas Bhima.