Outsourcing Bakal Dihapus, PHK Massal Makin Banyak?

Tanggal: 26 Jul 2025 09:31 wib.
Dalam dunia ketenagakerjaan di Indonesia, muncul kabar yang membawa harapan sekaligus kecemasan terkait kebijakan penghapusan tenaga alih daya atau outsourcing yang dinyatakan oleh Presiden Prabowo Subianto. Pernyataan ini disampaikan dalam kesempatan peringatan May Day 2025 di Monas, Jakarta, tepatnya pada tanggal 1 Mei 2025. Wacana ini ternyata memicu beragam reaksi dari berbagai kalangan, tergantung sudut pandang masing-masing.

Bagi serikat pekerja, penghapusan outsourcing adalah langkah positif yang telah lama diperjuangkan. Mereka beranggapan bahwa praktik ini telah menciptakan bentuk 'perbudakan' modern yang merugikan hak-hak dasar pekerja. Pada posisi ini, organisasi seperti Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPEK Indonesia), yang diwakili oleh Mirah Sumirat, menilai bahwa mekanisme alih daya melanggar prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).

Di sisi lain, pengusaha dan dunia usaha menganggap penghapusan sistem ini sebagai ancaman yang potensi memicu pemutusan hubungan kerja secara massal. Sekretaris Jenderal Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Sarman Simanjorang, menegaskan bahwa penghapusan tidak bisa dilakukan sembarangan. Sebab, di beberapa sektor, keberadaan tenaga alih daya sangat dibutuhkan. Ia juga menekankan bahwa keputusan semacam ini harus didasari pada diskusi yang matang agar tidak mengurangi kesempatan kerja bagi masyarakat yang sudah terseok-seok dengan isu pengangguran.

Praktik saat ini mengatur outsourcing dalam batasan yang ketat, hanya diperbolehkan untuk jenis pekerjaan tertentu seperti layanan keamanan, kebersihan, katering, pengemudi, dan pertambangan, sesuai dengan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Tentu saja, penghapusan praktik ini tidak bisa dijalankan sepihak dan perlu analisis mendalam oleh pihak-pihak terkait. Menteri Ketenagakerjaan Yassierli mengingatkan bahwa setiap langkah harus mempertimbangkan regulasi yang berlaku dan melibatkan partisipasi aktif dari semua pihak, baik pekerja maupun pengusaha.

Menariknya, meskipun ada penolakan, Mahkamah Konstitusi juga telah memutuskan bahwa sistem alih daya sah secara konstitusional, menyisakan dilema bagi pemerintah dalam mengambil sikap. Dengan kondisi pasar kerja yang masih rentan, di mana fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) massal masih terjadi, dikhawatirkan langkah penghapusan outsourcing ini justru menambah angka pengangguran.

Kekhawatiran pekerja terhadap ketidakpastian status kerja dan besaran upah yang rendah, juga menjadi faktor penting yang harus dievaluasi sebelum mengambil keputusan. Dalam konteks ini, diharapkan pemerintah mampu merumuskan peraturan baru yang mampu memberikan perlindungan sekaligus menjawab keresahan pekerja terkait dengan keberadaan tenaga alih daya. Hal ini sangat penting untuk memastikan masa depan yang lebih baik bagi para pekerja di sektor yang berisiko tinggi di-PHK.

Bukan rahasia lagi bahwa bagi sejumlah perusahaan, kehadiran tenaga alih daya membuat pengelolaan biaya menjadi lebih efisien, khususnya dalam hal pengeluaran untuk gaji, tunjangan, dan imbalan pasca kerja. Hal ini menjadi alasan bagi sebagian besar perusahaan untuk terus menggunakan sistem ini. Namun, tantangan utama adalah memastikan transparansi di dalam manajemen keuangan perusahaan, sehingga tidak terjadi ketimpangan antara insentif untuk eksekutif dan kondisi karyawan.

Dengan potensi yang ada, perusahaan dan pemerintah perlu duduk bersama dalam sebuah forum diskusi supaya nasib tenaga kerja, terutama tenaga alih daya, bisa lebih diperhatikan. Meski wacana penghapusan outsourcing terlihat menjanjikan di permukaan, tantangan di lapangan yang lebih kompleks tak boleh diabaikan. Jika tidak dikelola dengan hati-hati, langkah ini dapat berdampak negatif, baik bagi pekerja maupun dunia usaha di Indonesia ke depannya.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved