Okupansi Menurun, 5.000 Karyawan Hotel di Yogyakarta Dirumahkan
Tanggal: 19 Jun 2025 10:03 wib.
Di tengah tantangan yang dihadapi oleh industri pariwisata, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), situasi semakin memburuk seiring menurunnya okupansi hotel. Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY, Deddy Pranowo Eryono, mengungkapkan bahwa saat ini terdapat sekitar 5.000 pekerja di sektor hotel dan restoran yang terpaksa dirumahkan. Keputusan ini muncul di tengah ketidakpastian yang berlangsung sepanjang semester pertama tahun 2025.
“Kami menyepakati bahwa tidak akan ada pemutusan hubungan kerja (PHK), tetapi melakukan pengurangan pekerja dengan cara merumahkan. Para karyawan akan tetap menerima gaji pokok, meski insentif serta tunjangan tambahan dihapus,” tuturnya saat diwawancara. Dari angka tersebut, terdiri dari berbagai jenis karyawan, mulai dari yang berstatus tetap, kontrak, hingga pekerja harian.
Meski belum ada data resmi dikeluarkan oleh PHRI terkait jumlah pasti pekerja yang dirumahkan, Deddy menekankan pentingnya menjaga reputasi hotel dan restoran yang ada di DIY. Dia menambahkan bahwa situasi ini sangat dipengaruhi oleh kebijakan efisiensi yang dikeluarkan pemerintah, terutama sesuai dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 yang mengatur efisiensi belanja anggaran baik di tingkat nasional maupun daerah.
Akibat kebijakan tersebut, okupansi hotel dan restoran dilaporkan mengalami penurunan hingga mencapai 30 persen. Hal ini diperparah dengan larangan untuk study tour yang diterapkan di beberapa daerah. Namun, di bulan Mei 2025 lalu, Deddy juga menyampaikan bahwa tingkat hunian penginapan mencapai 75 persen, yang merupakan peningkatan dibanding tahun lalu di mana hanya tercatat 60 persen. Kendati demikian, kondisi ini tidak mencerminkan kestabilan jangka panjang, mengingat pada saat Libur Natal dan Tahun Baru 2024, tingkat okupansi hotel malah menurun antara 10 hingga 20 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Mengacu informasi dari Badan Pusat Statistik (BPS), Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel berbintang di DIY mengalami penurunan signifikan di tahun 2025. Pada bulan Januari, TPK mencapai 56,84 persen namun pada bulan berikutnya turun menjadi 52,34 persen dan lebih dramatis lagi pada Maret dengan angka 23,15 persen. Data terbaru menunjukkan pada bulan April TPK mencapai 49,98 persen. Walau ada sedikit perbaikan, kenyataannya adalah banyak tenaga kerja yang tetap dirumahkan.
Deddy meminta pemerintah daerah untuk memberikan perhatian lebih dalam situasi ini. Dia menyarankan adanya relaksasi pajak, keringanan biaya PDAM, dan penurunan tarif listrik sebagai salah satu solusi untuk mengurangi beban operasional yang harus ditanggung oleh pelaku industri. "Kami telah mengirimkan surat permohonan terkait hal ini sebulan lalu, namun hingga kini belum ada respons yang memadai dari pemerintah setempat," ujarnya dengan nada kecewa.
Ia sangat menyayangkan minimnya kepedulian pemerintah terhadap industri perhotelan dan restoran yang berkontribusi signifikan pada pendapatan pajak di Yogyakarta. Deddy juga berharap agar pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan Inpres No. 1/2025 tentang efisiensi dan larangan study tour. “Kami berharap agar situasi ini segera normal kembali, mengingat seluruh Badan Pengurus Daerah (BPD) PHRI di seluruh Indonesia merasakan dampak serupa atas kebijakan ini,” tegasnya.
Sebagai contoh nyata dari dampak yang dialami pekerja, Ana, seorang pekerja harian di salah satu hotel berbintang, berbagi cerita tentang tantangan yang dihadapinya. Ana, yang bukan nama sebenarnya, mengungkapkan bahwa ia dirumahkan akibat rendahnya tingkat okupansi. Pada akhir tahun lalu, ia sudah mencium tanda-tanda penurunan saat pekerjaan diharinya berkurang saat libur Natal dan Tahun Baru. Saat ini, Ana masih menunggu kabar baik untuk panggilan kerja kembali.
"Saat hotel ramai, pendapatanku sebagai pekerja harian bisa lumayan untuk dikirim ke keluarga dan menabung. Namun, saat ini terasa sekali penurunan yang drastis, shift kerja tidak sepadat sebelumnya," ungkapnya dengan nada harapan agar industri pariwisata kembali bangkit.
Sementara itu, Kepala Dinas Pariwisata DIY, Imam Pratanadi, mengakui adanya penurunan yang signifikan dalam penggunaan hotel untuk kegiatan pemerintah akibat kebijakan efisiensi tersebut. Ia menyatakan, "Sebelum ada Inpres, kunjungan dan pemanfaatan hotel untuk kegiatan dinas sangat tinggi, namun sekarang sangat terbatas."
Dalam upaya memulihkan tingkat kunjungan wisatawan, pemerintah daerah tidak tinggal diam. Mereka merancang berbagai strategi, termasuk kolaborasi antara penyelenggara acara, perhotelan, dan penyedia transportasi, untuk membuat paket promosi menarik yang menggabungkan berbagai produk.
"Paket tersebut diharapkan tidak hanya menarik bagi wisatawan tetapi juga mendukung kelangsungan ekonomi,” jelas Imam.
Pemerintah juga melanjutkan promosi pariwisata melalui kanal digital resmi seperti Instagram dan YouTube, serta memanfaatkan potensi sektor wellness tourism dan edukasi yang dapat membawa pengunjung ke Yogyakarta.
Dengan adanya lebih dari 100 perguruan tinggi di DIY yang terlibat dalam wisuda, pemerintah berusaha mengaitkan momentum tersebut dengan promo hotel dan wisata. Sementara untuk menopang pengurangan segmen study tour, komunitas masyarakat dianggap sebagai alternatif yang feasible.
Imam juga menekankan perlunya percepatan adaptasi kebijakan oleh pemerintah kota dan kabupaten untuk memberikan bantuan kepada pelaku usaha di sektor perhotelan. Menurutnya, ketidakcocokan data harian okupansi hotel yang belum sempat dibagikan ke pemerintah menjadi penghambat dalam pengambilan keputusan.
Pengamat ekonomi dari Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko, menilai bahwa penurunan tingkat hunian hotel juga terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Dia mengingatkan bahwa sektor pariwisata sangat bergantung pada pendanaan dari anggaran pemerintah, sehingga kebijakan efisiensi akan langsung berdampak terhadap daerah-daerah yang rentan secara ekonomi.
Melihat tren ini, Aditya mendorong agar kebijakan efisiensi diperiksa ulang dan lebih memperhatikan kesejahteraan pekerja, serta mengingatkan perlunya keberadaan badan pengawasan seperti Satgas PHK.