Ojol Jadi Karyawan Tetap? Ini Rencana Rahasia Pemerintah yang Sedang Dibahas Serius
Tanggal: 10 Mei 2025 13:39 wib.
Pemerintah Indonesia kini tengah mengkaji serius kemungkinan besar yang dapat mengubah nasib jutaan pengemudi ojek online (ojol) di tanah air. Salah satu wacana besar yang menjadi perhatian publik adalah peluang para driver ojol tidak lagi hanya menjadi mitra aplikator, melainkan berstatus sebagai karyawan tetap. Kebijakan ini sedang dalam proses pembahasan mendalam oleh berbagai kementerian terkait, dengan fokus utama pada perlindungan sosial bagi para pengemudi.
Dalam sebuah diskusi terbuka yang berlangsung pada Kamis, 8 Mei 2025, di Plaza BP Jamsostek, Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menyampaikan bahwa pembahasan mengenai pengemudi ojol sangat kompleks dan tidak bisa diselesaikan sepihak. Meski diskusi utamanya menyoroti jaminan sosial (jamsos), Yassierli mengakui bahwa isu perubahan status pengemudi dari mitra menjadi karyawan tetap juga telah masuk dalam radar pembahasan.
“Diskusi kali ini memang fokus pada perlindungan sosial. Soal kemungkinan mereka (pengemudi ojol) jadi karyawan tetap, itu bisa jadi bagian dari rekomendasi ke depan, tapi kami masih menunggu hasil dari kajian yang lebih menyeluruh,” kata Yassierli di hadapan ratusan driver ojol yang hadir langsung.
Meski belum ada kepastian, sinyal perubahan besar mulai tampak. Pemerintah, kata Yassierli, telah membuka ruang kajian status hukum dan ketenagakerjaan para pengemudi ojol. Ini menandakan adanya kemungkinan pergeseran posisi para pengemudi dari sekadar mitra usaha menjadi pekerja formal dengan hak-hak ketenagakerjaan yang lebih jelas, termasuk jaminan pensiun, cuti, dan asuransi.
“Ya, memang ada kajian soal status ini. Tapi tentu kita harus lihat dulu, apakah regulasinya memungkinkan? Bagaimana tahapannya? Karena ini menyangkut banyak pihak, dan semua stakeholder harus dilibatkan,” tambahnya.
Pemerintah mengakui bahwa kolaborasi lintas lembaga dan perusahaan aplikator sangat diperlukan. Sejauh ini, koordinasi telah dilakukan dengan perusahaan-perusahaan penyedia layanan transportasi online atau aplikator. Tujuannya adalah agar jika nantinya status driver berubah, mereka tetap mendapat kepastian hukum dan perlindungan kerja yang layak. Yassierli menekankan bahwa pemerintah tidak ingin mengambil keputusan sepihak, sebab nasib jutaan pengemudi dan ekosistem industri digital ikut dipertaruhkan.
Regulasi mengenai status pengemudi ojol sendiri masih dalam tahap pembahasan awal, yang membutuhkan waktu, masukan teknis, serta pertimbangan dari berbagai pihak seperti Kementerian Perhubungan, Kementerian Ketenagakerjaan, perusahaan aplikator, dan bahkan studi perbandingan dari luar negeri. Negara-negara lain seperti Inggris, Spanyol, dan Korea Selatan telah lebih dulu menerapkan regulasi berbeda-beda terkait status pengemudi gig economy, dan Indonesia mencoba mempelajari praktik terbaik dari sana.
“Ini adalah proses yang inklusif, tidak bisa tergesa-gesa. Kita melakukan meaningful participation, artinya semua pihak yang terdampak harus terlibat. Tidak hanya Kemenaker, tapi juga Kemenhub, aplikator, hingga melihat pengalaman internasional,” ujar Yassierli.
Kajian ini juga penting mengingat kondisi kerja pengemudi ojol yang semakin berat di tengah persaingan ketat, komisi kecil, dan insentif yang makin tipis. Banyak pihak menilai status “mitra” sering kali tidak mencerminkan kenyataan bahwa para pengemudi sejatinya bekerja layaknya karyawan penuh waktu, dengan tanggung jawab dan risiko yang tinggi.
Beberapa pengemudi menyambut baik wacana ini karena merasa lebih terlindungi jika menjadi karyawan tetap. Namun, di sisi lain, sebagian pengemudi juga menyuarakan kekhawatiran bahwa status karyawan bisa berarti lebih sedikit fleksibilitas, misalnya dalam hal waktu kerja dan pilihan platform.
Yassierli menegaskan bahwa semua masukan akan diperhatikan dan disaring secara bijak. “Kita harus melihat secara menyeluruh: dari sisi regulasi yang ada, kondisi para pengemudi, hingga dampaknya bagi perusahaan dan konsumen. Semua akan kita nilai secara objektif,” jelasnya.
Isu pengemudi ojol memang bukan hanya isu ketenagakerjaan, tapi juga menyentuh aspek ekonomi digital, perlindungan konsumen, dan keadilan sosial. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan pemerintah tidak bisa linier, melainkan harus integratif dan berdasarkan data yang kuat.
Perubahan status ojol menjadi karyawan tetap akan menjadi langkah revolusioner dalam dunia kerja digital di Indonesia. Jika benar-benar diwujudkan, ini dapat membuka babak baru bagi sektor transportasi online—dari sistem kerja fleksibel berbasis aplikasi menuju ekosistem ketenagakerjaan yang lebih adil dan manusiawi.
Dengan banyaknya suara yang mendukung transformasi ini, langkah pemerintah kini tinggal pada keberanian untuk merumuskan kebijakan yang berpihak kepada rakyat, tanpa merusak ekosistem bisnis yang sudah terbangun. Kajian masih berlangsung, dan publik menanti, apakah ini akan menjadi lompatan besar atau hanya sekadar wacana tanpa ujung.