Sumber foto: Google

Negara Barat Diduga Jadi Sumber Utama Pendanaan Perang Rusia di Ukraina Melalui Pembelian Energi

Tanggal: 30 Mei 2025 21:04 wib.
London, Inggris – Data yang dianalisis oleh BBC menunjukkan bahwa negara-negara Barat, ironisnya, menjadi salah satu sumber utama pendanaan perang Rusia di Ukraina melalui pembelian minyak dan gas. Sejak Februari 2022, pendapatan Rusia dari ekspor bahan bakar fosil jauh melampaui total bantuan yang diterima Ukraina dari negara-negara sekutunya.

Menurut laporan Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), hingga 29 Mei 2025, Rusia telah meraup lebih dari 883 miliar euro (sekitar Rp 16.318 triliun) dari ekspor minyak dan gas. Dari jumlah tersebut, sebanyak 228 miliar euro (sekitar Rp 4.213 triliun) berasal dari negara-negara yang justru menjatuhkan sanksi terhadap Moskwa, termasuk negara-negara Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Inggris.

“Minyak dan gas menyumbang hampir sepertiga dari pendapatan negara Rusia dan lebih dari 60 persen dari total ekspornya,” tulis CREA dalam laporannya.


Sanksi yang Kurang Efektif dan Celah "Pencucian" Minyak

Pasca-invasi Rusia ke Ukraina, sanksi dijatuhkan oleh Amerika Serikat dan Inggris yang melarang impor energi dari Rusia, serta Uni Eropa yang melarang impor minyak mentah Rusia lewat laut. Namun, gas pipa masih terus mengalir. Negara-negara seperti Hongaria dan Slovakia masih menerima pasokan langsung dari Rusia, baik lewat jalur pipa melalui Ukraina (sebelum dihentikan pada Januari 2025) maupun lewat Turkiye. Bahkan, volume gas Rusia yang dikirim ke Eropa melalui Turkiye meningkat 26,77 persen dalam dua bulan pertama pada 2025 dibandingkan tahun sebelumnya.

Meskipun ada tekanan internasional, pendapatan Rusia dari energi pada 2024 hanya turun 5 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Bahkan, pendapatan dari ekspor minyak mentah meningkat 6 persen dan gas pipa naik 9 persen.

“Masih ada ketakutan besar dari banyak pemerintah di Barat bahwa memotong impor energi dari Rusia akan menyebabkan lonjakan harga energi,” ujar Mai Rosner, juru kampanye senior dari organisasi Global Witness. “Tak banyak kemauan politik untuk benar-benar membatasi kemampuan Rusia menjual minyak,” tambahnya.

Selain ekspor langsung, minyak Rusia juga masuk ke negara-negara Barat setelah diolah di negara ketiga seperti India dan Turkiye. Skema ini dikenal sebagai refining loophole atau celah hukum di mana minyak Rusia diproses menjadi produk bahan bakar oleh kilang asing lalu dijual ke negara yang menerapkan sanksi. CREA mengidentifikasi sedikitnya enam kilang di India dan Turkiye yang membeli minyak mentah Rusia senilai 6,1 miliar euro (sekitar Rp 112 triliun) untuk dijual ke negara-negara Barat.

“Semua pihak tahu soal celah ini. Ini legal. Tapi tak ada yang benar-benar bertindak tegas,” kata analis CREA, Vaibhav Raghunandan.


Kontradiksi Moral yang Tajam

Bagi banyak pengamat, kondisi ini menghadirkan kontradiksi moral yang tajam. “Kita sedang membiayai pihak yang kita kecam, dan sekaligus membiayai pihak yang kita dukung,” ujar Mai Rosner. “Ketergantungan pada bahan bakar fosil membuat kita terjebak dalam permainan para produsen energi global, termasuk diktator-diktator yang memusuhi Barat,” imbuhnya.

Situasi ini menyoroti kompleksitas sanksi ekonomi dan tantangan dalam menghentikan aliran dana yang mendukung konflik bersenjata, terutama ketika melibatkan komoditas vital seperti energi.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved