Sumber foto: Google

MK Putuskan Pendidikan Dasar Gratis Berlaku untuk Sekolah Negeri dan Swasta

Tanggal: 28 Mei 2025 20:14 wib.
Tampang.com | Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan sebagian gugatan terhadap Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Putusan ini secara khusus menyoroti frasa "wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya", yang kini dimaknai lebih luas untuk menjamin akses pendidikan yang setara.

Gugatan terhadap Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas ini diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) bersama tiga pemohon individu: Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum. "Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian," ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan Nomor 3/PUU-XXIII/2025 pada Selasa (27/5/2025).

Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan bahwa Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. Ini berarti, frasa tersebut harus dimaknai ulang agar selaras dengan konstitusi. MK memutuskan bahwa frasa tersebut harus dimaknai "Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat."

Kesenjangan Akses Pendidikan Jadi Sorotan dan Implementasi Bertahap

MK berpandangan, frasa "wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya" dalam Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas selama ini hanya berlaku terhadap sekolah negeri. Hal ini, menurut MK, telah menimbulkan kesenjangan akses pendidikan dasar yang signifikan bagi peserta didik yang terpaksa bersekolah di sekolah/madrasah swasta akibat keterbatasan daya tampung sekolah negeri.

Dalam kondisi demikian, negara memiliki kewajiban konstitusional untuk memastikan bahwa tidak ada peserta didik yang terhambat dalam memperoleh pendidikan dasar hanya karena faktor ekonomi atau keterbatasan sarana pendidikan dasar. Oleh karena itu, frasa "tanpa memungut biaya" dalam norma a quo memang dapat menimbulkan perbedaan perlakuan bagi peserta didik yang tidak mendapatkan tempat di sekolah negeri dan harus bersekolah di sekolah/madrasah swasta dengan beban biaya yang lebih besar.

Sebagai ilustrasi, Hakim MK Enny Nurbaningsih membacakan data yang menunjukkan kesenjangan tersebut. "Pada tahun ajaran 2023/2024, sekolah negeri di jenjang SD hanya mampu menampung sebanyak 970.145 siswa, sementara sekolah swasta menampung 173.265 siswa. Adapun pada jenjang SMP, sekolah negeri tercatat menampung 245.977 siswa, sedangkan sekolah swasta menampung 104.525 siswa," ujar Enny.

Data tersebut secara jelas menunjukkan bahwa masih banyak peserta didik yang tidak dapat mengikuti pendidikan dasar di sekolah negeri dan terpaksa bersekolah di swasta akibat terbatasnya kuota. Karenanya, untuk menjamin hak atas pendidikan bagi seluruh warga negara, MK menegaskan bahwa negara wajib menyediakan kebijakan afirmatif berupa subsidi atau bantuan biaya pendidikan bagi masyarakat yang bersekolah di sekolah swasta.

Namun, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih juga menjelaskan bahwa penerapan pendidikan dasar tanpa dipungut biaya ini harus dilakukan secara bertahap dan selektif agar tidak memunculkan perlakuan diskriminatif. Ia menyebut, hak atas pendidikan sebagai bagian dari hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob) berbeda dengan pemenuhan hak sipil dan politik (sipol) yang bersifat segera.

Mahkamah berpendapat bahwa pemenuhan hak atas pendidikan sebagai bagian dari hak ekosob dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan kondisi kemampuan negara. Sebab, menurut Enny, pemenuhan hak ekosob senantiasa berkaitan dengan ketersediaan sarana, prasarana, sumber daya, dan anggaran negara. “Oleh karena itu, perwujudan pendidikan dasar yang tidak memungut biaya berkenaan dengan pemenuhan hak ekosob dapat dilakukan secara bertahap, secara selektif, dan afirmatif tanpa memunculkan perlakuan diskriminatif,” kata Enny saat membacakan putusan di Gedung MK RI, Selasa (27/5/2025).

Lebih lanjut, MK meminta negara mengutamakan alokasi anggaran pendidikan untuk penyelenggaraan pendidikan dasar, termasuk pada sekolah swasta, dengan mempertimbangkan faktor kebutuhan dari sekolah swasta tersebut. Pasalnya, ada sekolah swasta yang menerapkan kurikulum tambahan selain kurikulum nasional sebagai nilai jual.

Di samping itu, MK menyoroti pula adanya sekolah swasta yang tidak pernah atau tidak bersedia menerima bantuan anggaran dari pemerintah, serta menyelenggarakan kegiatan pendidikan sepenuhnya dari hasil pembayaran peserta didik. Terhadap sekolah swasta tersebut, menurut Mahkamah, akan tidak tepat jika dipaksakan tidak boleh lagi memungut biaya dari peserta didik; sementara kemampuan fiskal pemerintah untuk memberikan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan dasar bagi sekolah swasta yang berasal dari APBN dan APBD masih terbatas. Oleh sebab itu, meski sekolah swasta tidak dilarang membiayai dirinya sendiri, MK meminta sekolah swasta tersebut tetap memberikan kesempatan kepada peserta didik di lingkungannya dengan memberikan skema kemudahan pembiayaan tertentu. "Terutama bagi daerah yang tidak terdapat sekolah/madrasah yang menerima pembiayaan dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah,” kata Enny.

"Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas menurut Mahkamah, dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas frasa ‘wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya’ dalam norma Pasal 34 ayat (2) UU 20/2003, yang menurut para Pemohon menimbulkan multitafsir dan diskriminasi karena hanya berlaku untuk sekolah/madrasah negeri adalah beralasan menurut hukum," pungkas Enny, mengakhiri pertimbangan hukum Mahkamah. Putusan ini diharapkan menjadi tonggak penting dalam mewujudkan pendidikan dasar yang benar-benar gratis dan merata di Indonesia.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved