MK Putuskan Pendidikan Dasar Gratis Berlaku untuk Sekolah Negeri dan Swasta
Tanggal: 28 Mei 2025 20:15 wib.
Tampang.com | Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan sebagian gugatan terhadap Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Putusan ini secara khusus menyoroti frasa "wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya", yang kini dimaknai lebih luas untuk menjamin akses pendidikan yang setara.
Gugatan terhadap Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas ini diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) bersama tiga pemohon individu: Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum. "Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian," ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan Nomor 3/PUU-XXIII/2025 pada Selasa (27/5/2025).
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan bahwa Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. Ini berarti, frasa tersebut harus dimaknai ulang agar selaras dengan konstitusi. MK memutuskan bahwa frasa tersebut harus dimaknai "Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat."
Kesenjangan Akses Pendidikan Jadi Sorotan
MK berpandangan, frasa "wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya" dalam Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas selama ini hanya berlaku terhadap sekolah negeri. Hal ini, menurut MK, telah menimbulkan kesenjangan akses pendidikan dasar yang signifikan bagi peserta didik yang terpaksa bersekolah di sekolah/madrasah swasta. Kesenjangan ini seringkali disebabkan oleh keterbatasan daya tampung sekolah negeri.
Dalam kondisi demikian, negara memiliki kewajiban konstitusional untuk memastikan bahwa tidak ada peserta didik yang terhambat dalam memperoleh pendidikan dasar hanya karena faktor ekonomi atau keterbatasan sarana pendidikan dasar. Oleh karena itu, frasa "tanpa memungut biaya" dalam norma a quo memang dapat menimbulkan perbedaan perlakuan bagi peserta didik yang tidak mendapatkan tempat di sekolah negeri dan harus bersekolah di sekolah/madrasah swasta dengan beban biaya yang lebih besar.
Sebagai ilustrasi, Hakim MK Enny Nurbaningsih membacakan data yang menunjukkan kesenjangan tersebut. "Pada tahun ajaran 2023/2024, sekolah negeri di jenjang SD hanya mampu menampung sebanyak 970.145 siswa, sementara sekolah swasta menampung 173.265 siswa. Adapun pada jenjang SMP, sekolah negeri tercatat menampung 245.977 siswa, sedangkan sekolah swasta menampung 104.525 siswa," ujar Enny.
Data tersebut secara jelas menunjukkan bahwa masih banyak peserta didik yang tidak dapat mengikuti pendidikan dasar di sekolah negeri dan terpaksa bersekolah di swasta akibat terbatasnya kuota. Karenanya, untuk menjamin hak atas pendidikan bagi seluruh warga negara, MK menegaskan bahwa negara wajib menyediakan kebijakan afirmatif berupa subsidi atau bantuan biaya pendidikan bagi masyarakat yang bersekolah di sekolah swasta.
"Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas menurut Mahkamah, dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas frasa ‘wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya’ dalam norma Pasal 34 ayat (2) UU 20/2003, yang menurut para Pemohon menimbulkan multitafsir dan diskriminasi karena hanya berlaku untuk sekolah/madrasah negeri adalah beralasan menurut hukum," pungkas Enny, mengakhiri pertimbangan hukum Mahkamah. Putusan ini diharapkan menjadi tonggak penting dalam mewujudkan pendidikan dasar yang benar-benar gratis dan merata di Indonesia.