Misteri Lonjakan Kematian Jemaah Haji 2025: Apa Penyebabnya dan Bagaimana Solusinya?
Tanggal: 8 Jun 2025 18:29 wib.
Musim haji tahun 2025 mencatatkan angka kematian jemaah yang cukup mengkhawatirkan. Tim Amirul Hajj bersama Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dr. Taruna Ikrar, mengungkap fakta bahwa hingga seminggu sebelum puncak pelaksanaan ibadah haji, jumlah jemaah yang meninggal sudah lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya. Berdasarkan data resmi yang diumumkan pada Selasa, 3 Juni 2025, tercatat sebanyak 108 jemaah meninggal dunia selama pelaksanaan haji kali ini. Angka ini menjadi perhatian serius bagi penyelenggara dan pihak terkait.
Salah satu kendala utama yang disorot dr. Taruna adalah masalah perizinan operasional klinik dan praktik bagi tenaga kesehatan asal Indonesia di Arab Saudi. Menurut aturan setempat, seluruh fasilitas pelayanan kesehatan serta tenaga medis yang bertugas harus memiliki izin resmi beroperasi di wilayah tersebut. Ketidaktersediaan izin ini membuat sebagian petugas kesehatan Indonesia tidak bisa melaksanakan tugasnya secara maksimal, sehingga pelayanan terhadap jemaah menjadi terbatas.
Dalam upaya mengatasi masalah tersebut, dr. Taruna menyatakan akan langsung melakukan komunikasi dengan Menteri Haji dan Menteri Kesehatan Arab Saudi. Ia berharap ada solusi yang memungkinkan tenaga kesehatan asal Indonesia dapat melayani jemaah lebih optimal di lapangan.
Lebih jauh, dr. Taruna menyoroti kondisi di mana banyak jemaah meninggal dunia di hotel karena memilih menahan rasa sakit. Mereka enggan dirujuk ke rumah sakit karena stres akibat berada di lingkungan asing tanpa pendamping, ditambah kendala bahasa yang menyulitkan komunikasi. Situasi ini menunjukkan pentingnya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan di lokasi ibadah haji agar jemaah merasa aman dan nyaman mendapatkan perawatan medis yang diperlukan.
Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa 73 persen jemaah haji Indonesia pada 2024 memiliki penyakit penyerta atau komorbid. Penyakit seperti pneumonia dan serangan jantung menjadi ancaman serius yang harus diwaspadai saat menjalankan ibadah di lingkungan yang menuntut kondisi fisik prima. Kondisi cuaca yang ekstrem, kepadatan jemaah, dan aktivitas fisik berat selama haji menjadi faktor risiko tambahan bagi para jemaah dengan penyakit kronis tersebut.
Selain itu, hampir separuh jemaah haji tahun ini berasal dari kelompok usia di atas 60 tahun. Fakta ini menambah kompleksitas dalam memberikan layanan kesehatan karena lansia umumnya memiliki daya tahan tubuh yang lebih rentan dan memerlukan perhatian medis khusus. Melihat fakta ini, Kementerian Kesehatan berupaya menyusun strategi terpadu agar risiko kematian dan komplikasi kesehatan dapat ditekan secara optimal, terutama saat puncak pelaksanaan ibadah di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna).
Salah satu strategi utama yang tengah disiapkan adalah pengintegrasian antara tenaga kesehatan dari Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi dan Tenaga Kesehatan Haji Kloter (TKHK) asal Indonesia. Menurut Direktur Jenderal Sumber Daya Manusia Kesehatan Kemenkes, Yuli Farianti, pendekatan ini akan membagi tim kesehatan menjadi delapan markaz atau pos kesehatan utama. Dokter spesialis akan berjaga secara bergiliran di markaz-markaz tersebut, memastikan pelayanan medis tersedia secara merata.
Selain itu, dokter dan perawat dari satu markaz akan diperbantukan ke markaz lain yang jumlah TKHK-nya sedikit namun melayani jumlah jemaah yang besar. Pendekatan ini dirancang untuk meningkatkan respons dan ketersediaan tenaga medis secara merata di seluruh lokasi ibadah, sehingga potensi komplikasi medis dapat diantisipasi dengan cepat.
Permasalahan ini menegaskan pentingnya koordinasi antar lembaga serta peran strategis diplomasi kesehatan dalam memastikan kenyamanan dan keselamatan jemaah haji. Melalui dialog langsung dengan otoritas Arab Saudi, diharapkan kebijakan terkait izin operasional klinik dan tenaga medis dapat lebih fleksibel sehingga pelayanan kesehatan terhadap jemaah Indonesia meningkat secara signifikan.
Ke depan, perhatian pada penguatan fasilitas kesehatan, edukasi pencegahan bagi jemaah, serta pendampingan khusus bagi kelompok rentan seperti lansia dan pasien dengan penyakit komorbid menjadi hal yang tidak bisa diabaikan. Pelayanan kesehatan yang prima bukan hanya soal kesiapan tenaga medis, tetapi juga tentang bagaimana jemaah merasa aman, dipahami, dan didukung selama menjalankan ibadah suci ini.
Situasi lonjakan angka kematian ini mengingatkan kita bahwa ibadah haji, meskipun merupakan momen spiritual yang sakral, juga menuntut kesiapan fisik dan pelayanan kesehatan yang komprehensif. Semua pihak yang terlibat, mulai dari pemerintah Indonesia, otoritas Arab Saudi, hingga penyelenggara lokal, harus bersinergi secara optimal untuk menjamin keselamatan dan kenyamanan para jemaah haji.