Merayakan Tradisi Mubeng Beteng Keraton Yogyakarta dengan Rindu dan Doa

Tanggal: 30 Jun 2025 10:40 wib.
Ribuan masyarakat membanjiri keraton untuk merayakan Lampah Budaya Mubeng Beteng, suatu tradisi yang menandai Tahun Baru Jawa 1 Sura Dal 1959 dan Tahun Baru Islam 1 Muharram 1447 Hijriah. Acara yang digelar pada hari Jumat dini hari, tepatnya tanggal 27 Juni, ini mengajak para warga untuk berjalan mengelilingi Beteng Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. 

Sejak pukul 21.00 WIB pada malam sebelumnya, Kamis, 26 Juni, ribuan peserta, bersama para abdi dalem keraton, berkumpul di sekitar Bangsal Ponconiti Keben untuk memulai serangkaian ritual yang mendalam ini. Tradisi ini dimulai dengan pembacaan tembang macapat yang berisi doa dan pujian, dipimpin oleh K.M.T. Projosuwasono, salah seorang abdi dalem keraton. 

Menjelang tengah malam, tepatnya pada pukul 00.00 WIB, peserta acara mulai melangkah, seiring dengan bunyi lonceng keraton yang berdentang 12 kali. Rombongan ini kemudian berjalan kaki mengelilingi Beteng Keraton atau Beteng Baluwarti dengan jarak sekitar 5 kilometer. Kegiatan ini, menurut K.M.T. Projosuwasono, merupakan bentuk laku prihatin yang bertujuan agar masyarakat dapat berdoa serta bersyukur atas tahun yang telah berlalu sambil berharap keselamatan dan keberkahan untuk tahun mendatang.

Lampah Budaya Mubeng Beteng bukanlah sebuah agenda resmi dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, melainkan merupakan kegiatan budaya yang dikelola sepenuhnya oleh abdi dalem keraton. Selama berjalan, peserta diminta untuk menjaga nuansa khidmat dengan menerima tantangan "tapa bisu," yang berarti tidak berbicara. Projosuwasono menjelaskan bahwa meski tidak berbicara, tidak berarti mereka tidak berdoa. Sebaliknya, mereka diajak untuk melakukan doa dalam hati selama perjalanan.

Rute yang dilalui dalam tradisi ini diawali dari Keben Keraton, kemudian menuju Jalan Retowijayan, Jalan Kauman, Jalan Agus Salim, Jalan Wahid Hasyim, dan berakhir di Pojok Beteng Kulon. Selanjutnya, mereka melanjutkan perjalanan melalui Jalan Mayjen M.T. Haryono, Pojok Beteng Wetan, Jalan Brigjen Katamso, Jalan Ibu Ruswo, hingga akhirnya melewati Alun-Alun Utara dan kembali ke Keben Keraton.

Beberapa peserta memilih untuk berjalan tanpa alas kaki, meskipun penggunaan alas kaki tetap diperbolehkan. Projosuwasono menyarankan agar para peserta tidak mengenakan sandal, sebab bisa berisiko terinjak dan jatuh, meskipun mereka dapat memilih untuk menggunakan sepatu atau tidak memakai alas kaki sama sekali.

Menurut Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Dian Lakshmi Pratiwi, Lampah Budaya Mubeng Beteng adalah salah satu karya budaya yang telah mendapatkan pengakuan nasional. Tradisi ini resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia oleh kementerian yang menangani kebudayaan sejak tahun 2015. Dian menjelaskan bahwa pelaksanaan Mubeng Beteng merupakan upaya untuk mempertahankan adat dan tradisi Yogyakarta yang kaya dengan nilai-nilai spiritual.

Tradisi ini juga mengandung makna yang dalam, menjadi wahana refleksi dan kontemplasi bagi setiap individu untuk menghargai kehidupan dan mengingat Tuhan. Melalui kegiatan ini, masyarakat diajak untuk melakukan evaluasi diri demi perbaikan di tahun yang akan datang, serta memanjatkan doa untuk keselamatan dan meraih hidup yang lebih sejahtera menjelang tahun baru.

Para peserta datang dari berbagai latar belakang. Salah satunya adalah Gabriel Maria Ana, seorang pemuda berusia 25 tahun yang mengaku baru pertama kali mengikuti tradisi tersebut. “Saya ingin mengenal lebih dekat budaya leluhur kami. Ini adalah kesempatan yang menarik untuk menghayati dan merasakan budaya Jawa yang sangat kaya,” ungkapnya.

Wahyu Widiardana, seorang mahasiswa berusia 25 tahun dari Magelang, juga memanfaatkan momen ini untuk riset tugas akhir kuliahnya yang berfokus pada budaya Yogyakarta. “Saya ingin memahami lebih dalam tentang tradisi dan budaya yang ada di sini, sebagai bagian dari penelitian saya,” katanya. 

Begitulah uniknya tradisi Mubeng Beteng yang tidak hanya menjadi bentuk perayaan tahun baru, tetapi juga sebuah upaya kolektif untuk merayakan warisan budaya dan keagamaan yang ada di Yogyakarta.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved