Sumber foto: iStock

Mengapa Warga RI Pilih Berobat ke Luar Negeri? Bocor Rp150 Triliun per Tahun, Ini Akar Masalahnya!

Tanggal: 30 Jun 2025 10:11 wib.
Fenomena warga Indonesia berobat ke luar negeri terus terjadi dan bahkan menunjukkan peningkatan signifikan dari tahun ke tahun. Malaysia, Singapura, hingga Amerika Serikat menjadi destinasi favorit, terutama bagi kalangan menengah dan atas. Ironisnya, tren ini justru menggerus potensi ekonomi nasional hingga Rp150 triliun per tahun, sebagaimana diungkapkan Menteri BUMN Erick Thohir.

Dalam acara peresmian Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sanur dan Bali International Hospital pada Rabu (25/6/2025), Erick menyampaikan bahwa sebanyak dua juta warga Indonesia setiap tahunnya memilih pengobatan di luar negeri. Biaya yang dikeluarkan untuk kebutuhan kesehatan ini mencapai angka fantastis dan menjadi sinyal bahwa sistem layanan kesehatan dalam negeri masih menghadapi berbagai tantangan.

Mengapa Banyak Orang Indonesia Memilih Berobat ke Luar Negeri?

Alasan banyak warga Indonesia memilih rumah sakit di luar negeri ternyata tidak semata karena harga yang kompetitif. Faktor kenyamanan, kemudahan prosedur, dan kualitas komunikasi dokter-pasien juga berperan besar dalam mendorong keputusan tersebut.

Menurut dr. Adib Khumaidi, mantan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), komunikasi antara dokter dan pasien di Indonesia masih perlu banyak perbaikan. Banyak pasien merasa dokter di luar negeri, seperti di Malaysia atau Singapura, memberikan pelayanan yang lebih humanis dan mudah dipahami.

"Kemampuan komunikasi dokter kita harus ditingkatkan. Banyak pasien bilang mereka merasa lebih nyaman diajak bicara oleh dokter di luar negeri," ujar Adib dikutip dari detikcom.

Tak hanya itu, regulasi negara yang mendukung layanan kesehatan bebas pajak (free tax) juga membuat pengobatan di luar negeri tampak lebih murah dan menarik bagi pasien asal Indonesia. Kebijakan seperti ini menjadi keunggulan kompetitif bagi negara-negara tetangga.

Krisis Dokter Spesialis di Indonesia

Persoalan mendalam lain yang turut memperburuk kondisi adalah krisis tenaga dokter spesialis di Indonesia. Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin, secara terbuka mengakui bahwa Indonesia masih sangat kekurangan dokter spesialis, terutama di luar kota-kota besar.

Salah satu penyebab utama krisis ini adalah sistem pendidikan dokter spesialis di Indonesia yang dinilai tidak ramah terhadap calon peserta. Berbeda dengan negara lain, di mana dokter spesialis tetap bisa bekerja dan mendapatkan gaji selama masa pendidikan, di Indonesia para calon dokter spesialis justru harus berhenti bekerja dan membayar biaya pendidikan yang mahal.

"Kita ini unik, tapi bukan dalam arti positif. Di luar negeri, dokter spesialis tetap bekerja dan digaji. Di kita, harus cuti, bayar mahal, dan baru bisa praktek setelah lulus. Ini tidak adil bagi peserta didik," ungkap Budi dalam pernyataannya pada April lalu.

Situasi ini menciptakan hambatan besar dalam mencetak lebih banyak dokter spesialis, sehingga akses masyarakat terhadap layanan spesifik dan berkualitas tinggi menjadi terbatas.

KEK Sanur: Harapan Baru Pariwisata Medis dalam Negeri

Sebagai salah satu langkah konkret untuk mengatasi kebocoran devisa akibat wisata medis ke luar negeri, pemerintah kini meresmikan KEK Sanur di Denpasar, Bali. Kawasan ini dirancang sebagai kompleks pariwisata medis terintegrasi pertama di Indonesia.

KEK Sanur tidak hanya mencakup rumah sakit dan klinik spesialis, tetapi juga dilengkapi dengan pusat riset medis, fasilitas hotel, serta gedung konvensi. Harapannya, KEK Sanur bisa menarik wisatawan medis domestik maupun mancanegara, sekaligus meningkatkan kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap layanan kesehatan dalam negeri.

Langkah ini diprediksi akan membawa dampak ekonomi positif, termasuk menyerap tenaga kerja lokal, mendorong inovasi layanan medis, dan mengurangi angka masyarakat yang berobat ke luar negeri.

Tantangan dan Harapan

Meski KEK Sanur membawa angin segar, pembenahan sistemik tetap harus dilakukan. Dari sisi regulasi, pemerintah perlu menyesuaikan aturan pendidikan dokter spesialis agar lebih inklusif dan efisien. Sistem layanan kesehatan juga harus mengutamakan pendekatan yang ramah, berbasis pasien (patient-centered), dan memperkuat komunikasi dua arah antara dokter dan pasien.

Pemerintah juga diharapkan mendorong kolaborasi antara rumah sakit dalam negeri dengan institusi kesehatan internasional, baik dalam bentuk transfer teknologi, pelatihan tenaga medis, maupun peningkatan fasilitas.

Dengan begitu, bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi negara tujuan pariwisata medis, bukan sekadar pengirim pasien ke luar negeri.

Penutup

Kebocoran ekonomi hingga Rp150 triliun per tahun akibat banyaknya warga Indonesia yang berobat ke luar negeri harus menjadi perhatian serius. Masalah ini tidak hanya soal fasilitas medis, tetapi juga menyangkut kepercayaan, kualitas SDM, dan pendekatan layanan yang humanis.

Upaya pembangunan KEK Sanur adalah langkah awal yang baik, namun perlu didukung oleh reformasi di sektor pendidikan tenaga medis dan perbaikan layanan kesehatan secara menyeluruh. Dengan pembenahan yang tepat, Indonesia punya potensi besar menjadi pusat layanan kesehatan unggulan di Asia Tenggara.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved